Sumber gambar : https://www.dream.co.id/news/sebabmahasiswa-indonesia-kerap-tak-lolos-universitas-al-azhar-180308l.html
Sudah lama sekali ya Rin semenjak terakhir kali kita
meninggalkan tawa-tawa lepas kita sewaktu masih duduk di bangku SMA. Sejak saat
itu aku jarang sekali mendengar kabarmu. Bahkan beberapa teman dekat pun seolah
kehilangan kontakmu saat itu. Terakhir aku mendengar kabar kau tengah bekerja
di Jakarta sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar di sana. Aku tak
terkejut kau bisa terjun ke dunia pendidikan, bukankah itu memang cita-citamu dari
dulu untuk mengajar di sekolah kan ?, setidaknya cita-citamu sudah keturutan, yah meskipun aku tahu itu
bukan sepenuhnya cita-cita yang kau inginkan. Ceritamu waktu itu, ketika kita
masih jadi sahabat karib di bangku sekolah. Keinginanmu untuk melanjutkan
pendidikan di Kairo bukan main-main. Paling tidak dugaanku benar adanya jika
dilihat dari perjuanganmu mencari beasiswa kesana kemari hanya untuk menjadikan
cita-citamu bukan hanya sekedar pemanis bibir.
Sudah dua pekan semenjak aku datang
ke rumahmu, cuma tinggal Bapak, Ibu dan adik laki-lakimu yang masih duduk di
bangku sekolah menengah pertama. Aku mendapatkan banyak cerita tentangmu dari
mereka. Bapakmu bilang kau hampir pingsan karena impianmu sendiri, mengurung
diri di kamar,
hmmm..
belajar sampai lupa makan katanya. Haha.. ada-ada saja pikirku.
Ibumu juga sempat cerita bagaimana kondisimu yang sempat
beberapa kali demam karena kurang istirahat dan puncaknya kau dilarang pergi ke
Kairo. Aku jadi penasaran bagaimana perasaanmu waktu itu. Ku pikir kau tak
mungkin pasrah begitu saja dengan larangan orang tuamu. Tak mungkin Rin yang ku
kenal selama ini dengan mudah menanggalkan cita-cita yang sudah dibangun waktu
kita masih sekelas.
Lima tahun ya Rin kalau ku ingat-ingat kau mulai
kepikiran sama Kairo, belajar di sana, mengenal sejarah Islam sekaligus
menikmati semua yang disajikan kota itu bagi para pendatang. Rasanya aku
sendiri tak akan memungkiri kesungguhanmu untuk pergi ke sana memang punya
banyak alasan yang sangat masuk logika.
Impianmu untuk berdakwah menjadi alasan
utama, bukan begitu Rin ?
Pantas saja jika pada akhirnya orang tuamu menyerah
untuk tetap memberikan ijin meski dengan resiko belum tentu ada yang bisa
merawatmu lebih baik dari mereka. Bagaimana nanti kalau kau sampai jatuh sakit
lagi lantaran kelelahan belajar, atau jika tubuhmu tak kuat dengan perbedaan
cuaca di sana. Meskipun penjelasan yang kau sampaikan kepada mereka dapat
memberikan sedikit perasaan tenang. Namun tak dapat dipungkiri jika rasa
khawatir itu tetap ada dan tak bakal menguap dengan penjelasan segamblang
apapun. Seberapa pun banyaknya kau terlihat kuat di hadapan keluargamu,
benih-benih kekhawatiran tetap bisa tumbuh sewaktu-waktu jika dihadapkan dengan
kabar-kabar yang tak mengenakkan tentangmu.
Wajar saja Rin, toh mereka keluargamu, siapa lagi manusia
yang lebih tahu tentangmu selain mereka. Manusia yang paling lama mengenal
kekuatan dan kelemahan tubuhmu bahkan sampai urusan hati. Mereka pun juga tahu
resikonya ketika merawat anak yang tumbuh dewasa dengan tekad sebulat bulan
lima belas. Bahkan semenjak usiamu masih dalam hitungan minggu bibit keras kepalamu
sudah mulai terlihat. Mereka tahu resiko itu karena Bapakmu pun orang yang
demikian sifatnya.
Sifat keras kepalamu bawaan
lahir ya Rin ? hahaha..
Jadi Jakarta hanya jadi tempat singgah sementara saja ya
buatmu Rin ?. Keluargamu bilang kalau kau sudah hampir setengah tahun tinggal
di Kairo, kota yang sudah kau tunggu untuk dijamahi kebesarannya, ilmu-ilmu
yang bisa rakus kau lahap, begitu kalau tak salah kau dulu cerita padaku dengan
mata menyalak-nyalak, seolah ingin keluar dari tempatnya singgah. Jujur saja
rasanya iri sekali dengan caramu berjuang waktu itu, sampai saat ini akhirnya
tujuan itu sudah mapan pada
tempatnya. Aku turut bahagia mendengar kabar itu dari keluargamu di sisi lain
ada sebersit perasaan sedih tak bisa menemuimu dalam waktu yang cukup lama.
Kira-kira empat sampai lima tahun ya kita akan bakal menunda percakapan, itupun
kalau kau tak lanjut pendidikan lagi di sana. Padahal aku mau mengajakmu
mencoba kedai kopi baru di seberang sekolahan kita dulu. Sumpah di sana kopinya
luar biasa Rin.
Membiarkan waktu mengambil ruang pada pertemuan kita adalah
kondisi yang tak lantas bisa dipersilahkan begitu saja, tapi Allah maha tahu,
bagian mana jatah nasib manusia yang harus didahulukan, manusia hanya pandai
merengek-rengek menolak nasibnya sendiri yang tak enak dirasa, tapi seolah
menjadi pura-pura lupa pada kondisi sebaliknya. Pada akhirnya kita tak bisa
menolak, mengeluh terus-terusan pun bukan jalan keluar yang dianjurkan.
Membiasakan diri dengan jatah nasib yang sudah pada waktunya harus dijalani
dirasa jadi obat yang paling mujarab. Hanya saja aku sendiri sudah terlanjur
kecanduan dengan keluhan-keluhan yang sengaja tak mau ku buang jauh-jauh. Salah
satu watak manusia yang paling manusiawi katamu. Sudah tahu penyakitnya, pun
dengan obatnya, akan tetapi tak lekas diobati. Lalu pada akhirnya mati menjadi
peringatan yang siapapun tak bisa menolak.
Dasar manusia, lantas aku apa ?
haha.
Tidak ada harapan terbesar dari seorang sahabat selain
melihat sahabatnya sendiri terus berjuang dengan cita-citanya, sampai dimanapun
tahap yang sudah dilangkahi, separah apapun luka yang pernah menjadi bagian
dari perjuangan, serusak apapun jalur yang sudah atau bakal dilewati untuk
alasan yang bahkan sebagian orang bilang tak masuk di akal. Selama itu adalah
cita-cita mulia untuk apa kita peduli. Soal ini barangkali menjadi tuli adalah
jurus paling jitu.
Seperti itu saja terus ya Rin, satu-satunya bantuan yang
bisa kami berikan padamu hanya do’a, yang tak mengenal jarak apalagi ongkos
kirim. Khusus keluargamu yang tak usah ditanya berapa kali mereka mendo’akanmu
dalam sehari atau se-jam. Bahkan jika itu membuat bibir mereka sampai berdarah-darah
sekalipun. Kau tak perlu risau dengan hal itu, karena bagi mereka luka fisik
akan sembuh dengan sendirinya. Innallaha
ma’anna, sesungguhnya Allah bersama kita.