Selasa, 25 Oktober 2016

Bul bul Wonikebul

Asap mengepul-ngepul dari rumah warga-warga penghuni kampung Wonokebul, di kampung ini Pak Dukuh Dulkamid memang menggalakkan warganya untuk giat merok*k demi kesejahteraan kampungnya di mata pemerintah daerah. Katanya “saya sering nonton di tv, bahwa merok*k dapat meningkatkan perekonomian lewat jalan kepopuleran, jadi semakin kita sering merok*k, semakin populerlah kita di mata nasional, bahkan internasional” tambahnya dengan suara lantang. Pak Dulkamid memang dianggap warga adalah pemimpin yang paling maju, baik pikiran maupun kondisi ekonominya. Sering sekali ide-ide cemerlang semacam ini ia dapat dari banyak iklan-iklan dan tayangan di televisi, cara bicaranya yang lempeng dengan susunan kata dan intonasi sempurna menirukan gaya khas petugas kereta Commuter line, membuat siapapun yang mendengarnya takzim lan sendiko dawuh.
Karena kelihaiannya dalam menyusun kata-kata, Pak Dulkamid berhasil menjabat kepala dusun 3 periode berturut-turut. Beberapa kandidat yang pernah jadi lawannya pun silih berganti tumbang bergelimpangan ketika diadakan sesi debat untuk para calon kepala dusun. Mereka kalah wibawa, kalah bicara, kalah kharisma, kalah pengalaman, bahkan kalah pendukung karena banyak warga yang semula berada di kubu yang berseberangan dengan Pak Dulkamid mendadak berbalik arah dan menjadi simpatisannya.
Himbauannya untuk menggiatkan ngudud bagi setiap warganya dilaksanakan dengan sukarela dan tanpa paksaan, warga kampung tak akan berpikir panjang jika perintah itu datang sendiri dari mulut Pak Dulkamid, dari para simbok-simbok yang setiap pagi pergi menggendong kayu bakar ke pasar, bapak-bapak yang menghabiskan waktunya dinas di antara petakan sawah, sampai anak-anak sekolah pun tak luput dari himbauan Pak Dulkamid, meski terkadang mereka harus merok*k sembunyi-sembunyi takut jika guru mereka di sekolahan tahu dan akhirnya berujung rok*k mereka berpindah saku. Setiap hari suasana kampung Wonokebul selalu diselimuti asap rok*k, dari pagi buta sampai malam menjelang pun asap di kampung ini tak pernah berangsur surut, bahkan kian hari kian bertambah pekat mengalahkan asap kayu bakar ketika para ibu rumah tangga sedang olah-olah di dapur.
Pernah sekali warga ada yang bertanya arti peringatan yang tertulis kecil di bagian bawah bungkus rok*k yang berbunyi “Merok*k dapat mengakibatkan serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin”. Pak Dulkamid dengan tenang hanya menjawab, “peringatan itu ditujukan hanya untuk orang-orang yang sudah sepuh, yang usianya sudah 90 tahun ke atas, jadi untuk para warga yang masih dalam usia produktif atau yang masih berusia di bawah 90 tahun tidak perlu cemas dan khawatir, karena peringatan itu tidak berlaku untuk mereka” himbaunya. Warga kampung yang membuka warung di rumah juga dihimbau untuk mengganti seluruh barang dagangannya dengan rok*k berbagai merk, kalau perlu pasang di depan supaya orang yang lewat pun bisa dengan jelas membaca merk-merk yang dijual di warung. “Tak perlu ambil untung banyak, yang penting cepet laku” kata Pak Dulkamid kepada warga.
Seakan roda perekonomian ikut taklid dengan kata-kata Pak Dulkamid. Penghasilan warga yang berjualan rok*k di warung maupun di pasar meningkat, semula mereka berpenghasilan sehari hanya 50 ribu kini bisa sampai tiga kali lipat, terutama untuk mereka yang membuka warung di rumah. Sejak himbauan merok*k berlaku di kampung Wonokebul, warung mereka silih berganti dikunjungi warga untuk membeli berbagai rok*k yang mereka jual. Para warga yang tergolong mampu bahkan sampai membeli puluhan pack untuk stok mereka di rumah, takut kalau-kalau nanti mereka kehabisan.
Untuk warga yang kurang mampu, mereka dilayani dengan sistem eceran, sehingga warga tidak perlu membeli 1 bungkus penuh untuk bisa merok*k di rumah, ada juga sebagian warung yang menjual udud lintingan, dengan lembaran kertas garet dibungkus dengan kertas minyak bergambar alat musik seruling dan tembakau yang terpisah dibungkus plastik kiloan, cara pakainya mudah, tinggal menaburkan tembakau sesuai selera di atas selembar kertas garet, kemudian kertas dan tembakau digulung dengan kedua telapak tangan membentuk gulungan menyerupai terompet dengan salah satu ujungnya berukuran lebih besar dengan ujung yang lain sebagai tempat yang disulut api. rok*k jenis ini biasanya sering dibeli untuk warga yang berusia lanjut dan berekonomi rendah karena harganya jauh lebih murah dibanding dengan rok*k modern menggunakan bungkus karton kotak. Apapun bentuk rok*knya, bagi warga Wonokebul yang penting mereka ikut berpartisipasi dalam menjaga kepopuleran nama kampung sesuai perintah Pak Dulkamid.
Mengingat dampak positif yang Pak Dulkamid lihat di kampung Wonokebul setelah adanya aktivitas wajib merok*k, ia lalu mempunyai gagasan untuk meningkatkan kepedulian warga terhadap rok*k. Akhirnya berlakulah peraturan tambahan untuk kegiatan ini dengan kewajiban bagi warga yang akan menikah, diwajibkan untuk memakai seserahan maupun mas kawin dengan beberapa bungkus rok*k dan seperangkat korek api, lalu untuk anak-anak kampung yang berprestasi di sekolahan, akan diberi hadiah voucher merok*k bernilai seratus ribu rupiah. Untuk warga Wonokebul yang ketahuan tidak merok*k, akan dikenakan sangsi berupa denda sesuai lama waktu mereka tidak merok*k, dan paling parah Pak Dulkamid memberlakukan hukuman kebiri untuk warga laki-laki dan hukuman diarak keliling kampung untuk warga perempuan yang ketahuan tidak menyediakan rok*k di rumah. Semua warga kampung tanpa berpikir panjang menyetujui peraturan baru tersebut, lagi-lagi karena semua itu perintah dari Pak Dukuh Dulkamid.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Sudah sebulan berjalan semenjak peraturan merok*k yang baru diterapkan, warga semakin sering membawa rok*k kemana-mana, di kantong baju, kantong celana, di dalam selendang para simbok yang berjualan di pasar, di sela-sela daun telinga para bapak rumah tangga, bahkan ada yang tergulung rapi di balik dompet. Ketakutan warga yang disebabkan hukuman berat bagi mereka yang tidak merok*k kini tidak dirasakan lagi oleh mereka, warga yang awalnya terbatuk-batuk karena mengisap tumpukan asap rok*k kini sudah mulai dengan tenangnya ngebul kesana-kemari tanpa harus menahan perut yang semula sering kram karena batuk yang tersengal-sengal. Pemandangan ini membuat Pak Dulkamid sebagai kepala dusun menjadi senang bukan kepalang, ia optimis dalam 10 tahun ke depan kampung Wonokebul akan menjadi salah satu kampung terpopuler di dunia mengalahkan desa Dieng dengan festival rambut gimbalnya. Itu artinya perekonomian warga akan semakin meningkat, para awak media akan berbondong-bondong mendatanginya untuk meminta wawancara, ia sudah merencanakan masak-masak apa yang akan ia paparkan kepada para wartawan jika mereka nantinya minta dijelaskan dari mana asal-muasal aktivitas merok*k ini. Semua harapan sudah ia susun rapi di dalam pikirannya, semua program-program yang sudah terlaksana ia catat rapi dalam ceklis yang ia simpan di amplop besar warna cokelat bertuliskan “PROGRAM TERLAKSANA”.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Asap rok*k semakin mengepul seperti membentuk lapisan kabut di atas atap-atap rumah warga, sampai saat ini warga belum merasakan dampak yang signifikan dari aktivitas merok*k yang sudah berjalan hampir 2 bulan, kecuali mereka yang membuka warung di kampung yang keuntungannya meningkat karena rok*k dagangan mereka habis diserbu tetangga sendiri.
Hari itu warga kampung Wonokebul tiba-tiba dikejutkan dengan kematian Pak Somo yang memang sudah hampir setengah bulan dirawat di rumah sakit karena batuk parah dan tak kunjung sembuh, suaranya mulai serak dan mengecil lalu lama-kelamaan hilang, ia hanya sering komat-kamit jika ditanya dokter atau ketika minta ini itu kepada suster dan anak-anak yang menjaga beliau selama di rumah sakit. Sebagai kepala dusun Pak Dulkamid sempat datang ke rumah sakit untuk menanyakan perihal penyakit yang diderita Pak Somo. Diagnosa dokter menyatakan paru-paru Pak Somo rusak parah dan menghitam, kata dokter ini disebabkan kebiasaan Pak Somo yang sering merok*k. Kata anak-anaknya, “bapak biasanya habis 2 bungkus tiap hari, itu juga kalau bapak lagi pas kerja, kalau pas hari libur bisa lebih”. Pak Dulkamid merasa sedikit tertolong karena anak-anak Pak Somo tidak menyebut-nyebut namanya sebagai dalang utama dibalik kegemaran merok*k warga. Mendengar pernyataan itu, Pak Dulkamid tak lantas percaya begitu saja. Yang sering ia lihat di tv selama ini, mereka yang sering merok*k malah jago beladiri, berwibawa, kaya raya dengan potongan jas ala petugas MLM, mereka pun selalu terlihat menawan dikelilingi para wanita-wanita cantik. Mungkin dokter ini iri dengan wajahnya yang semakin hari semakin menawan disebabkan karena kebiasaannya merok*k sehingga ia memberikan diagnosa palsu kepadanya, pikir Pak Dulkamid.
Beberapa warga yang sempat menjenguk Pak Somo pun mendengar pernyataan yang sama dari dokter di rumah sakit. Ada yang menolak mentah-mentah diagnosa itu, ada pula yang hanya diam dan mulai ragu dengan kebijakan yang diterapkan Pak Dulkamid. Melihat ada sesuatu yang mengancam kelangsungan programnya, Pak Dulkamid berfikir keras memutar otak untuk memberikan penjelasan kepada warganya yang mulai ragu dengan kredibilitasnya sebagai pimpinan kampung.
Seminggu berjalan tanpa ada pencerahan dari Pak Dulkamid, beberapa warga satu persatu mulai sering keluar masuk rumah sakit, keluhan mereka hampir semuanya sama, paru-paru rusak dan menghitam. Para pelajar yang ketahuan sering membawa rok*k ke sekolahan dipanggil orangtuanya untuk diberikan surat peringatan. Para warga mulai bertanya-tanya, sudah benarkah aktivitas merok*k mereka selama ini?. Pak Dulkamid yang kata-katanya terkenal mujarab mengobati kecemasan warga lebih sering keluar, dinas di kantor kelurahan katanya. Ada pun beberapa warga yang sudah menemui ajal dengan penyakit yang sama diderita oleh Pak Somo. Dari Mbah Kusmin, Pak Sarno, Mas Penget dan yang paling terbaru Robertus anak juragan bathok kelapa yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Pak Dulkamid mulai dicari-cari warga, terkadang mereka datang langsung ke rumah untuk minta penjelasan dan pencerahan. Tetapi Pak Dul sering pergi sampai petang hari. Pernah beberapa warga berhasil menemuinya di malam hari. Ketika ditanya jawabnya singkat dan penuh dengan renungan yang mendalam, “semua itu sudah takdir Tuhan, kita semua tidak tahu nafas ini akan diijinkan Tuhan berfungsi sampai kapan, yang terpenting banyak-banyaklah beribadah, membantu sesama dan menuntut ilmu” katanya. Kata-kata Pak Dulkamid menggetar di dalam dada para warga yang berada di situ, mereka pulang dengan tenang tetapi tidak menemukan solusi untuk malapetaka yang sedang menimpa kampung mereka.
Tiba-tiba Pak Dulkamid mendapatkan pencerahan, ia teringat dengan pohon keramat di ujung kampung yang sudah lama tak diberi sesaji oleh warga yang sudah sibuk dengan kegemaran merok*k mereka. Hari itu juga Pak Dulkamid mengumpulkan warga untuk mengadakan rapat di balai pertemuan, dengan peci hitam dan kemeja merah polos kedodoran, Pak Dulkamid naik ke atas mimbar dan menyampaikan beberapa pernyataan yang telah ia tulis rapi di kertas folio. Pidato ia awali dengan ucapan bela sungkawa kepada para keluarga yang masih dirundung duka. Lalu pada inti pidatonya ia memberikan himbauan yang dirasa akan menjadi racun penawar keraguan warga terhadapnya. Dengan suara lantang dan mimik muka yang dibuat serius, “kepada para warga, bahwa musibah yang sedang kita alami sekarang bukanlah karena kebiasaan kita merok*k, melainkan karena kita sudah lama tidak memberikan sesaji untuk penghuni pohon keramat di ujung kampung, sehingga sing mbaurekso marah kepada kita, sehingga ia menjadikan warga kampung sebagai tumbal dengan memakan paru-paru mereka satu persatu, mulai saat ini kita harus lebih rajin memberikan sesaji kepada penghuni pohon keramat tersebut, agar kampung kita terlepas dari musibah ini, sekian”, tutup Pak Dulkamid yang mengucap salam disertai batuk yang terpingkal-pingkal, sedetik kemudian ia terhuyung tak sadarkan diri, warga panik mencari pertolongan, “Pak Dul dimakan penghuni pohon!!” teriak salah satu warga.

Senin, 24 Oktober 2016

Windy

Sumber gambar : https://ae01.alicdn.com/kf/HTB1US0nIVXXXXa6XXXXq6xXFXXXJ/Abstract-font-b-Lady-b-font-With-Unbrella-Oil-Painting-On-Canvas-Abstract-font-b-Lady.jpg

`“Lagi apa kamu Win ?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari balik jendela kelas. Aku hanya diam selagi Erika masuk ke dalam kelas dan segera menarik bangku untuk duduk di sampingku.
“Dia nembak aku tadi Er.”
“Siapa ? Aryo ?”
“Iya.”
“Bagus donk, kamu kan juga suka sama dia.”
“Itu dulu Er, setelah aku tau kalau dia mau dijodohkan dengan anak teman bapaknya, semenjak itu aku tak punya perasaan lagi dengannya, apalagi jika aku harus bersaing untuk Aryo, aku kan perempuan Er.”
“Ya kenapa engga Win, sekarang bukan jamannya lagi selalu cowok yang ngejar cewek, kita juga punya hak yang sama, apalagi itu buat perasaanmu sendiri.”
“Entahlah Er, tapi sekarang perasaanku ngga lagi ke Aryo, dia rasanya biasa saja sekarang.”
“Trus kamu jawab engga ?”
Aku diam sejenak, “aku ngga jawab apa-apa, aku masih bingung.”
“Kamu masih suka sama dia Win, buktinya kamu masih bingung kan ?”
“Entahlah, soal itu aku juga bingung.”
“Trus kamu mau gimana sekarang ? Jangan gini terus donk, aku juga bingung harus gimana kalau kamu ngga ada tindakan.”
“Aku mau ke kantin Er.”
“Aku ikut.”
Kami berdua pun berjalan beriringan menyusuri lorong kelas-kelas yang jika sekilas dilihat desainnya mirip lorong bangsal-bangsal di rumah sakit, dari tiang-tiangnya yang saling berdekatan di kanan dan kiri lorong, seperti sebuah gapura yang sengaja di pasang dengan jarak antar sepasang tiang masing-masing satu setengan meter yang ramah menyambut lalu lalang langkah kaki menyajikan ketukan dengan berbagai irama dan derajat seseorang yang dapat terlihat dari model sepatu yang mereka kenakan.
“Kamu pesen apa, aku yang traktir” Tanya Erika.
“Yang biasa aja Er.”
“Oke” jawab Erika sambil berjalan ke arah stand penjual bakso malang favoritku.
Tak lama kemudian Erika kembali dengan kedua tangannya membawa es jeruk dan teh botol seperti yang biasa kami minum bersama kalau sedang menghabiskan waktu berdua di kantin.
Aku dan Erika memang sudah lama sekali bersahabat, semenjak duduk di bangku SMA, kami berdua sama-sama mengambil kelas IPA, dan kebetulan kami juga belajar di kelas yang sama. Entah mengapa kami seperti punya keterikatan satu sama lain, kami sering sekali dipertemukan dalam satu kegiatan yang sama, seperti ekstrakulikuler menari, pencak silat, maupun ketika aku terpilih menjadi anggota tonti SMA dia pun juga. Dari situ kami berdua semakin mengenal rahasia satu sama lain. Dari beberapa laki-laki yang pernah menjadi pacarku, Erika hampir semuanya tahu, begitupun sebaliknya. Sampai akhirnya kami berdua sama-sama kuliah di Fakultas Biologi UI Jakarta.  Tuhan seperti menempatkan kami ke dalam lipatan catatan yang sama, dimana setiap kejadian adalah garis-garis lipatan di dalamnya. Sampai pada akhirnya lipatan itu sampai pada Aryo, lelaki bertubuh tinggi sedang mahasiswa Fakultas Ilmu Politik yang selama beberapa semester mengusutkan pikiran kami, terutama aku.
“Apa ada orang lain Win ?”
“Ngga ada, aku lagi pengen sendiri sekarang Er?”
“Tapi permintaan orang tuamu gimana? Bukannya mereka bilang nggak mau lama-lama liat kamu sendiri, lagi pula umurmu udah 24 lho !.”
“Jangan ngomongin umur ah !” Kataku sedikit kesal.
“Mereka pasti lebih tahu kondisiku sekarang Er, aku harap mereka bisa ngerti.”
“Hehe.. Bercanda Win, mungkin kamu perlu cerita masalah ini ke mereka, barangkali orang tuamu lebih berpengalaman tentang masalahmu sekarang”
Orang tuaku memang sudah beberapa kali menginginkan aku untuk segera membawa pulang laki-laki untuk dikenalkan kepada mereka sebagai calon suami. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk menjodohkanku dengan anak teman sekantor ayah, tapi dari beberapa laki-laki yang mereka kenalkan denganku, belum ada yang bisa menggantikan posisi Aryo dipikiranku.
“Silahkan non 2 mangkok bakso malang” tiba-tiba ibu penjual bakso sejenak menghentikan obrolan kami berdua sambil membawa nampan berisi 2 mangkok bakso malang yang tadi sudah dipesan Erika.
“Makasih Bu” jawabku pelan.
“Yang sabar ya Win, masalah kamu Cuma  belum waktunya selesai.”
“Iya makasih Er, maaf ya aku jadi sering merepotkan.
“Jangan bilang gitu ah, lagipula masalah kan kita sudah sering gantian Win, sekarang kamu, bisa jadi besok giliranku, tapi asal ada masalah jangan aku terus ya yang traktir makan..hehe,” canda Erika.
“Haha.. inget aja kamu Er kalau urusan makan.”
Kami masih bisa sedikit bercanda di sela-sela masalahku yang akhirnya jadi masalah Erika juga. Sebenarnya aku tak mau melibatkan Erika dalam masalahku dengan Aryo, tapi kebiasaan kami dari waktu sekolah yang tidak bisa jika menyimpan masalah kami berdua sendirian, akhirnya yang dari awal niat tidak ingin membagi bebanku ini dengan Erika harus bocor juga pada akhirnya lantaran kebiasaan kami yang saling ketergantungan satu sama lain. Apalagi karena usia kami yang sudah dibilang bukan ABG lagi, setiap ada masalah yang berhubungan dengan percintaan, akan lebih terasa pelik karena kondisinya yang juga pasti akan melibatkan keluarga. Sering jika keluarga besar kami berkumpul dalam satu acara, banyak pertanyaan yang terasa menyudutkan bagi para perempuan seperti kami, “kapan nikah ?” atau “udah ada yang ngelamar belum ?”. Itu sedikit diantara banyak pertanyaan yang sering keluarga besar kami masing-masing lontarkan, atau jika tidak sengaja orang tua kami melihat foto di handphone kami masing-masing yang tengah selfie dengan teman laki-laki, mereka pasti bertanya ini itu, ini siapa lah, dari nama, alamat, usia dan sebagainya. Mungkin karena kami perempuan yang kata mereka tak baik jika sendiri lama-lama, takut terjadi apa-apa dengan kami mengingat jaman sekarang yang rentan bagi perawan seperti kami itu ada benarnya juga.
Beberapa menit telah melewati obrolan kami berdua di kantin hingga tak terasa hampir 2 jam mangkok bakso ini kami biarkan teronggok tak diambil pemiliknya. Cengkrama para mahasiswa yang entah sudah berapa kali berganti pemilik mulutnya pun seperti tak bersinggungan dengan keberadaan kami berdua di sini. Siang yang semakin menengadah, cahaya matahari yang menyusup masuk dari kaca-kaca gedung fakultas kami yang memang sengaja dibuka sebagai tambahan penerangan di dalam ruang-ruang kelas, tak terkecuali area kantin yang memang didesain di ruangan terbuka dengan jendela-jendela kaca di sekeliling ruangan menambah kesan santai yang cocok untuk menghabiskan jam-jam kosong ketika menunggu dosen yang terkadang datang terlambat, atau seperti kami yang tak ada jam kuliah dan sengaja ke kampus hanya untuk membunuh penat ketika hanya seharian berdiam diri di dalam rumah.
Tiba-tiba aku teringat ketika awal aku kenal dengan Aryo. Sebenarnya jika dilihat ia tak begitu menarik secara fisik, tinggi, kurus, badannya pun kalah kekar jika dibanding dengan mahasiswa yang seangkatan dengannya. Aku dulu sama sekali tak menaruh hati padanya. Tapi Tuhan punya waktu dan tempatnya sendiri ketika perasaan itu tiba-tiba muncul hanya karena minat kami yang sama-sama suka duduk sendirian. Setahuku ia juga tak punya banyak teman perempuan karena memang dilihat dari sikapnya yang lebih sering diam dan menutup diri. Ketika kami sudah saling mengenal pun tak terlalu banyak yang dibicarakan. Hubungan kami memang terlihat begitu sepi, senyap namun riuh di dalam. Tidak banyak yang tahu kalau kami punya hubungan istimewa terkecuali Erika yang memang tak pernah aku batasi cerita apa saja yang terjadi padaku, bahkan lebih banyak dari apa yang orang tuaku ketahui. Mungkin karena kami seusia sehingga aku merasa lebih nyaman ketika menceritakan segala masalahku padanya. Menurutku ia sudah menjadi orang paling pandai dalam memberikan solusi pada setiap masalah yang datang padaku. Aku tak membantah jika waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada siapapun termasuk orang tuaku sendiri. Menurutmu ini berlebihan ? tidak bagiku, aku hanya merasa semua masalahku hanya Erika yang berhak tahu. Apa salahnya jika perasaan nyaman itu aku jatuhkan untuk sahabat sendiri. Bukankah setiap orang berhak menentukan dimana tempat ia merasa nyaman ? termasuk kami.

Jumat, 14 Oktober 2016

Sabun mandi



            Aku akan punya banyak cerita ketika nanti kami sekeluarga bisa kumpul bersama di rumah eyang, bagaimana masa kecil aku dan kakak ketika bermain umbul dari kartu bergambar tokoh-tokoh kartun favorit kami waktu SD. Semua tak serba cepat berubah seperti sekarang, ketulusan orang-orang akan bertahan selama mereka mau dan tanpa alasan apapun, sungguh jika masa-masa itu bisa diandaikan seorang perempuan, aku akan menjadikannya istri, anggap saja seperti itu.
            Semua begitu mudah kami tanggalkan satu-persatu, dari kakak yang sudah sibuk dengan berbagai masalah yang memang tak pernah sengaja dibuat-buat karena memang sudah resiko dia sendiri sengaja tumbuh jadi dewasa, sampai saat ini tak ada waktu lagi untuk diajak berenang di blumbang bekas galian para penambang batu waktu kita masih sibuk dengan ingus masing-masing. Jika sudah begini, aku hanya akan mati-matian membunuh waktu yang memang lambat laun memisahkan kami dari seringnya sebuah pertemuan.
            Cerita keluarga kami tak bakal jauh-jauh dari siapa itu bapak, dengan mukanya yang didesain tegas untuk terus kami segani sampai sekarang. Kumisnya tak pernah runtuh dari wajah yang kadang bisa tampak sangat penyayang jika memang menurut beliau kami butuh bapak yang seperti ini. Apapun yang beliau katakan kami taklid, tak peduli sampai mana beliau sekolah, karena dari beliau kami kenal cara melakukan apa saja sendiri, dari hanya sekedar menuang air minum kami sendiri setelah makan, sampai ketika kami harus mandiri dengan segala macam pekerjaan yang dewasa ini terpaksa mengurangi waktu berkumpul dengan beliau. Kami tahu bapak sengaja dengan resiko yang ia buat sendiri untuk kedua anaknya, tapi dia pasti sudah tahu betul jika kami tak akan sia-sia menjadi dewasa. Ia hanya seseorang yang tegas dengan caranya yang penyayang itu, itu saja hal luar biasa yang terlihat dari seorang bapak.
            Pada akhirnya seberapa luar biasanya bapak pasti ada sosok yang berperan jauh lebih hebat di samping beliau, ya kami sebut beliau ibu, atau yang biasa kami panggil mamak. Selalu bau dapur, tapi cantik kan tidak melulu soal cara berdandan dan harum parfum yang menyalak hidung seperti pada umumnya. Justru beliau terlihat mempesona bagi kami ketika tampil apa adanya di dalam rumah. Bukankah cantik ala Tuhan itu sudah dari sananya ya ? Kalaupun banyak produsen alat kecantikan, itu hanya jadi sesuatu yang sifatnya tambahan, tapi tidak akan jadi cantik ketika ia di tawarkan di tempat yang kurang tepat. Misalkan, mereka menawarkan krim pemutih kulit di daerah mayoritas orang kulit putih. Konsumen mereka pasti tidak berniat merubah warna kulit jadi pusat pasi, begitu pun sebaliknya, produsen kecantikan yang menawarkan krim penggelap kulit. Bayangkan jika ditawarkan di lokasi yang mayoritas berkulit hitam, yang ini mungkin sudah tak perlu dijelaskan kenapa mereka ditolak.
            Kembali lagi ke ibu,saya jadi ingat ketika kecil dulu berdua dengan kakak menghabiskan waktu hampir satu jam jika di kamar mandi berdua, padahal waktu itu kami harus segera berangkat sekolah sebelum jam 7. Memang kalau sudah berdua seperti itu kami suka lupa waktu, apa saja bisa kita buat mainan. Dari sabun yang bagi orang biasa hanya digunakan sebagai pembersih badan kami gunakan sebagai amunisi pencetak gelembung udara sampai gayung yang kami pakai untuk alat pelontar bom air. Sasarannya apalagi kalau bukan muka kami masing-masing. Kami tidak akan melakukan gencatan senjata sebelum ibu masuk dan mengguyur kami berdua dengan pelontar air (dibaca : gayung) kami tadi. Ya, tapi semua akan berulang keesokan harinya, luar biasa bukan ? betapa cerdasnya k`ami berdua merakit berbagai senjata dengan bahan yang ada di kamar mandi, bahkan mungkin pembuat senjata sekelas Mikhail Kalashnikov pun belum tentu bisa seperti kami. Ya, bagi kami waktu itu, tak perlu susah payah bermimpi menjadi apa, nikmati saja seperti yang ada waktu itu, kalau gagal, trus kenapa ? Buat saja mimpi yang lain atau kau bisa mulai semuanya dari awal.

Rabu, 08 Juni 2016

Cerpen : LKS




LKS

Bahkan sedikit saja aku mengenal Ningrum, gadis berparas khas jawa tengah dengan kulit sawo matang yang pas sekali matangnya tidak terlalu hitam dan tidak terlalu putih. Yang membuat ia begitu istimewa adalah caranya berperilaku yang sangat-sangat tak apa adanya jika melihat keluarganya yang begitu terpandang karena bapaknya Ningrum adalah kepala pengajar sekaligus pendiri pondok pesantren Darrul ulum Wates. Dari semenjak kecil ajaran Islam yang begitu melekat di keluarganya yang membuat Ningrum menjadi sosok perempuan yang istimewa di mataku, dengan kesederhanaan yang tak pernah dibuat-buat dan tutur kata yang sangat tertata lembut, bahkan dewi kwan in pun tak sanggup menandingi kelembutan kata-katanya.
Namaku Ismo lebih lengkapnya Ismoyono, nama itu diberikan atas saran kyai Ahmad yang kala itu memang dimintai tolong untuk memberikan nama yang baik oleh bapakku, kata beliau itu artinya kebijaksanaan, karena harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi laki-laki yang bijaksana, bijak dan apa adanya begitu katanya.Semua orang tua pasti punya harapan yang besar kepada setiap anak yang dititipkan kepada mereka, entah bagaimanapun kondisinya biasanya anak akan diberikan nama yang baik dan di dalamnya mengandung arti dan harapan untuk anak mereka jika sudah besar nanti.Sekarang usiaku sudah 26 tahun, bisa dibilang bujang matang menjelang lapuk, teman-teman seusiaku hampir semuanya sudah menikah bahkan ada yang sudah beranak 1. Mungkin karena keseharianku terlalu sibuk dengan tumpukan buku-buku pelajaran dari percetakan yang setiap hari biasa ku antarkan ke beberapa sekolah, dari mulai SD smpai SMK. Setiap ada penerbitan LKS baru para kurir sepertiku setiap hari selalu sibuk untuk berkeliling untuk mengantarkan setidaknya 20 paket yang di dalamnya terdiri dari 10 LKS, dan dari pihak percetakan menargetkan dalam sehari harus 24 sekolahan yang menerima kiriman LKS dari mereka.
                Pekerjaan ini sudah kutekuni sejak lama, dari ketika lulus sekolah menengah kejuruan tahun 2005, dulunya sempat beberapa kali daftar melalui BKK sekolah untuk magang di perusahaan di daerah Jakarta Timur, namun dari beberapa perusahaan yang sudah coba aku lamar, belum ada yang mengijinkan aku untuk menjadi karyawan di perusahaan mereka, sampai akhirnya ada kawan yang menawarkan pekerjaan menjadi kurir untuk menggantikan pamannya yang sudah mencapai masa purna tugas.
“Is, nanti kamu tolong anterin LKS ke SD Jurang jero ya, hari ini tinggal ini thok, habis itu kalau mau pulang ngga apa-apa”
“Siap Pak ! ini masih LKS yang kemarin pak ?”
Iya, Is, nanti tolong anterin ya, kamu kan sekalian pulang to ?”
“Iya pak”
Pak Syamsul adalah manager bagian pengiriman di sini, beliau dikenal ramah pada siapapun termasuk anak buahnya sendiri. Beliau dulunya juga seorang kurir, mulai bekerja di sini sejak tahun 1996, karena ketekunan dan kejujurannya, beliau akhirnya di angkat menjadi manager pada pertengahan tahun 2003, dan kini siapa yang tidak mengenal beliau yang biasa dipanggil Pak Sam. Sosok yang murah senyum di usianya yang hampir kepala 5, terlihat dari kepalanya yang sudah separuhnya diselimuti uban dan gigi yang kalau tertawa seperti mau keluar dari akarnya. Tetapi hanya beliau saja yang tetap kuat menghadapi pasang surutnya pabrik percetakan ini, entah karena terpaksa tidak ada pekerjaan lain atau alasan lain, aku sendiri juga kurang begitu tahu riwayat perjuangannya di pabrik ini. Yang sempat beliau ceritakan kepada kami adalah ketika percetakan ini hampir tutup pada tahun 2000 an karena salah satu pimpinannya dulu ada yang menyalahgunakan kekuasaannya di sini, waktu itu beliau pernah menceritakan bahwa uang kas percetakan yang nilainya hampir mencapai 1 M diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Dan setelah 1,5 tahun ia bekerja sebagai pimpinan, kasus itu baru terkuak. Semua bingung waktu itu, termasuk Koh Anming sendiri sebagai pemilik percetakan. Pada akhirnya semua dimulai lagi dari awal. Termasuk bagaimana sibuknya Pak Syamsul bolak-balik ke bank untuk mengantar Koh Anming. Tapi berkat peristiwa itu juga Pak Syamsul akhirnya diserahi jabatan yang sekarang ini beliau duduki. Aku sedikit terinspirasi dari kisah hidup Pak Syamsul. Kami-kami yang bertugas sebagai kurir baru sangat kagum dengan sosok beliau yang rendah hati dan grapyak dengan semua orang.

***
                Ningrum sudah lama bekerja sebagai tenaga pengajar di SD Jurang jero, meskipun ia ,masih berstatus sebagai guru honorer, tetapi semangatnya untuk menyalurkan ilmu sangat besar, dilihat dari kerelaannya untuk mengorbankan segala kepentingan untuk memberikan ilmu pada setiap anak-anak di daerah tersebut, dari mulai mengajar sebagai guru SD maupun menjadi guru les pada sore harinya. Semua hal itu yang membuat aku begitu menaruh hati pada perempuan itu, dan mengapa aku begitu betah dengan pekerjaan ini karena ada banyak jalan untukku bertemu dengan Ningrum walaupun hanya untuk urusan pekerjaan. Sepertinya nasib yang dirancang Tuhan bak gayung bersambut dengan apa yang telah terencana jauh di lubuk hatiku, semua seperti sudah ditulis serapi mungkin untuk sebuah dongeng yang pada kalimat akhir akan mengisahkan pangeran dan tuan putri hidup damai selamanya. Jodoh memang menjadi takdir Tuhan, tapi dengan siapa kita jatuh cinta itu adalah pilihan, tukang minyak kelapa kadang juga tercium wangi meski ia tak menjual minyak kasturi. Bisa jadi Tuhan menjodohkanku dengan Ningrum supaya ia bisa mengajariku yang memang tidak pandai matematika, atau supaya aku bisa mengajaknya berkeliling kota Jogja mengingat ia jarang sekali ada waktu untuk jalan-jalan meski hanya sekedar untuk menghilangkan penatnya sebagai pengajar. “Ah.. Cinta lebih sering membuat manusia pandai menulis kisah drama romansa, bahkan melebihi cerita cinta kapal Titanic tanpa ia harus karam dihantam gunung es pada cerita akhirnya, atau kisah Romeo dan Juliet dengan menghilangkan skenario bahwa mereka berdua harus meregang nyawa di akhir cerita.
                Siang itu sebelum pulang sesuai perintah Pak Syamsul aku segera mengantarkan LKS ke SD Jurang jero yang jaraknya tak jauh dari tempatku bekerja, pikirku heran, motor yang biasa aku pakai untuk berkeliling tiba-tiba jadi begitu ringan, kecepatannya pun tak seperti biasanya, mungkin ia tahu kalau tuannya ingin cepat-cepat sampai ke sekolahan, karena memang tujuanku ke SD Jurang jero tidak semata-mata memenuhi perintah atasan, sebenarnya yang jadi tujuanku sejak awal tak lain dan tak bukan adalah untuk bisa menemui Ningrum. Siang itu sebelum masuk waktu ashar aku sudah tiba di SD Jurang jero, dengan jaket kulit warna hitam pekat, sepekat keinginanku hari ini untuk bertemu Ningrum, aku mulai berjalan dari tempat parkir tamu menuju ruang guru yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku memarkirkan motor, sengaja motor kuletakkan di dekat pintu masuk agar  tak perlu berjalan terlalu jauh menuju ruang guru.
                Suasana lorong kelas begitu hangat, sepi sekali hanya terdengar suara sayup-sayup mesin kendaraan yang lalu lalang melintas di jalanan depan pagar sekolah.
 “Sore mas Ismo !!” sapa tukang kebun sembari mengayunkan sapu lidinya ke arah pengki.
“Sore juga pak, Bapak belum pulang ?, nggak biasanya jam segini masih di sekolah”.
“Belum mas, tadi pagi saya nganter istri saya rewang di tempat saudara, karena rumahnya lumayan jauh, jadi saya ijin sama Bu Kepsek kalau hari ini masuk siang, jadi biar jam kerjanya penuh saya pulangnya agak sore.”
                Kita memang sudah saling kenal karena beberapa kali aku datang ke sekolah ini untuk mengantarkan lembaran-lembaran LKS, dan di sini pun sudah menjadi langganan setiap ada terbitan LKS baru. Beberapa guru pun ada yang mengenalku sehingga ketika aku datang ke sekolah ini tidak ada lagi rasa canggung jika harus bertemu para pengajar, begitu juga Ningrum. “Ah.. Nama itu seperti sudah tertimbun begitu lama di hati ini seperti tanaman kacang yang bijinya sudah terbentuk sempurna namun masih ragu untuk dicabut takut kalau-kalau tidak berbuah baik.”
                Akhirnya langkah demi langkah mendekatkanku dengan pintu ruang guru yang disitu juga tempat senyum manis Ningrum berserakan di atas meja kerjanya di sudut ruangan tepatnya di bawah foto Bung Tomo dengan sorot matanya yang begitu gahar seolah berteriak lantang “merdeka atau mati” menohok pria kurus kering pengantar LKS yang berdiri dengan gagah yang seolah dibuat-buat demi tampil menawan untuk bertemu dengan putri yang disekap jam sekolah.
“Tumben jam segini baru dateng mas Ismo, biasanya sebelum dhuhur ??” Tiba-tiba Bu Kepsek memutus perdebatanku dengan Bung Tomo.
“Eh.. Iya Bu, nanti sekalian pulang, jadi kesini sore sekalian”.
O iya mas, LKS nya sampean taruh meja yang pojok itu saja mas, nanti nota penerimaan barangnya ada di mbak Ningrum”.
“Baik Bu” jawabku pelan.
                Jantungku tiba-tiba berdetak dengan irama yang tak jelas, ia seperti mau keluar dari balik baju dinas kerjaku. Dengan langkah tergopoh-gopoh lembaran-lembaran LKS ku letakkan di atas meja. Padahal tadi rasanya tak seberat ini, nafasku rasanya begitu pendek, tak sampai ke paru-paru hanya bolak-balik saja di ujung hidung.
“Eh, Mas Ismo”. Tiba-tiba sapaan Ningrum hampir membunuhku saat itu, ditambah senyum yang sangat sederhana yang tak bosan menikamku berkali-kali setiap kami bertemu.
“I..Iya Mbak Ningrum, ini mau ditaruh dimana ?” Tanyaku basa-basi.
“Di sini saja ngga apa-apa, mas Ismo duduk saja dulu”. Katanya sambil menunjuk kursi yang ada di depan mejanya.
                Ruangan ini rasanya lengang sekali, semua kesibukan orang-orang yang ada di dalamnya tiba-tiba hilang kecuali Ningrum dengan pulpen pilotnya yang sedang sibuk mengisi nota. Detakan jarum jam dinding seperti mengisi keheningan kami berdua, membentuk intonasi dengan detak jantung yang semakin mengiyakan perasaan untuk perempuan ini.
                Waktu semakin sore, matahari yang sedari tadi menyapu lantai-lantai beton halaman sekolahan kini berangsur berubah menguning menandakan waktu senja akan segera tiba juga dengan jam pelajaran sekolah yang sebentar lagi akan usai.
“Teeeettt.”
Bel sekolah sudah berbunyi, waktunya para siswa pulang ke rumah mereka masing-masing setelah menjalani jam pelajaran tambahan. Para orang tua yang dari tadi sudah menunggu di luar gerbang sekolah pun bersiap menyambut tawa-tawa renyah anak-anak mereka keluar kelas. Suasana sekolahan yang tadinya hening kini mulai ramai dengan langkah-langkah lari siswa-siswi di sepanjang lorong kelas-kelas mereka, tawa-tawa saling ejek khas anak kecil, sorak sorai mereka yang memecah keheningan sekolah menjadi suasana yang membuat sekolah ini begitu dicintai para penghuninya.
Urusanku sebagai pengantar LKS telah selesai bersamaan dengan para guru yang bersiap keluar ruangan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing tak terkecuali Ningrum dengan tas selempang warna hitamnya yang dari dulu memang tak pernah gonta-ganti model. Ciri wanita setia pikirku.
“Bu guru Ningrum mau pulang” tanyaku bercanda.
“Ah, mas Ismo bisa aja, iya mas, ini lagi mau beres-beres dulu sebentar.”
“Pulang ke rumah naik apa Bu ?” tanyaku penasaran.
“Biasa naik angkot mas, kebetulan angkot yang sering lewat depan sekolahan jalurnya ada yang ke arah rumah.”
 “Gimana kalau bareng saya aja bu ?, kebetulan juga rumah saya searah sama bu guru” aku mencoba memberanikan diri menawarkan tumpangan kepadanya berharap ia lebih memilih naik motorku daripada harus menunggu angkot di depan sekolahan.
“Ah, nanti mas Ismo repot lagi harus nganter saya ke rumah.”
“Eh, engga repot kok, saya udah biasa kalau cuma masalah antar-mengantar, hehe.”
“Bisa aja mas Ismo ini, ya udah nanti saya bareng mas Ismo aja kalau ngga ngrepotin.”
“Alhamdulillah” syukurku dalam hati akhirnya setelah sekian lama keinginanku pulang bersama dengan Ningrum hari ini terwujud.
                Akhirnya setelah semua selesai, kami dan para guru berjalan ke luar ruangan, kami semua saling berpencar, ada sebagian guru-guru perempuan yang menuju ke gerbang sekolahan karena sudah ditunggu suami mereka yang juga sudah dari tadi di depan gerbang, ada juga sebagian dari kami yang membawa kendaraan masing-masing berjalan beriringan menuju tempat parkir begitu juga dengan aku dan Ningrum. Sore tak pernah sehangat ini pikirku, entah memang cuaca akhir-akhir ini sedang cerah-cerahnya atau karena lantaran sore ini Ningrum akan pulang bersamaku ?. Ah, entahlah, semua hal memang kadang tiba-tiba berubah sesuai perasaan, terkadang sebuah urusan terasa begitu rumit ketika perasaan sedang tidak enak-enaknya, atau pun sebaliknya, jika hati ini sedang merasa bahagia, semua masalah yang kita alami tidak membuat kita terlalu banyak protes dengan apa saja yang diberikan Tuhan. Mungkin ada benarnya jika orang tua menyuruh kita untuk lebih banyak bersyukur ketimbang menghabiskan waktu hanya untuk mengeluhkan keadaan yang tidak sesuai keinginan. Semua akan berjalan sesuai koridor yang sudah Tuhan siapkan untuk masing-masing hamba-Nya, tinggal siapa yang melewati dan sebesar apa kesadaran mereka terhadap keadaan koridor mereka sendiri, apakah akan bersih dari lantai sampai langit-langitnya, atau yang hampir di setiap sudutnya di penuhi lumut dan sampah yang berserakan.
Satu-persatu motor para guru meninggalkan ruang parkir sekolahan, wajah-wajah senang yang mengerumuni ruang parkir membuat suasana begitu nyaman. Aku bersyukur karena lewat lembaran LKS yang kuantarkan, bisa sedikit membantu mereka membagikan ilmu kepada para siswa, juga ketika perasaan cinta kepada Ningrum sedikit terwujud seiring dengan motorku yang mulai melaju mengantarkan kami berdua pulang ke rumah.





sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/51d6815705346a7063000005/lukisan-abstrak-penuh-misteri/5


Senin, 25 April 2016

MURSINAH

Akhirnya setelah berhari-hari lelah menjadi penjual lauk pauk, Mursinah harus menyerah dihantam harga berbagai kebutuhan pokok yang meroket naik. Seakan hidup tak mampu dibayar oleh orang-orang kurang mampu seperti mereka, bahkan untuk dicicil sekalipun. Cuma Pak Warto juragan kambing yang sering protes di depan televisinya sendiri macam orasi mahasiswa UI di depan istana negara ketika ada kebijakan dari pemerintah yang dirasa merugikan juragan kambing seperti dia, atau ketika bapak-bapak yang sedang siskamling saling menyanggah pendapat masing-masing dengan gaya seperti mereka yang bergelar sarjana.
Untuk orang-orang seperti Mursinah yang tak ada TV di rumah, keputusan apa pun dari pemerintah ya dirasakan saja, toh ia tak seperti Pak Warto yang bisa seharian berorasi di depan TV-nya yang selebar papan karambol hasil patungan para remaja tanggung penghuni pos kamling. Ia tak mau ambil pusing dengan masalah para penggedhe di Jakarta sana. Lagi pula jadi orang yang ngurusi politik itu bikin pusing, demo sana-sini, sering ngasih sumbangan ke pedagang kembang di pasar, tapi Mursinah yang bertahun-tahun menjadi penghuni pasar depan pintu masuk pula tak pernah ketemu orang-orang yang seperti ia lihat di TV. Malah preman-preman berwajah garang bak rambo yang sedang membombardir musuh dengan wajah loreng yang habis diolesi oli bekas dari bengkel Koh Acong.
Mursinah kenal betul dengan film rambo ketika dia dulu waktu masih kecil diajak bapaknya nyadran di makam eyang. Waktu itu mereka nginep dulu di rumah Pakde Sar yang memang terbilang orang berhasil di antara saudara-saudara mereka. Di situlah Mursinah kenal dengan rambo, mereka dipertemukan lewat TV Pakde Sar yang seukuran papan karambol persis punya pak Warto juragan kambing. Yang jelas menurut Mursinah preman-preman di pasar itu tidak seganteng rambo yang diperankan.
“Silvester siapa itu?” katanya. Ia lupa jika harus mengingat nama-nama orang barat yang memang susah jika harus diucapkan lidah ndeso macam dia.
“Lah wong tiap hari cuma makan kimpul sama nyirih kok suruh ngomong enggres,” katanya.
Mursinah harus pintar-pintar putar otak melihat kondisi dagangannya yang sudah bisa dibilang hampir musnah digusur peradaban. Sepertinya kebutuhan pokok sudah menjadi musuh dalam selimut bagi kehidupan para pedagang pasar. Dulu mereka masih bisa hidup hanya dengan satu jenis usaha saja, seperti Mursinah yang jualan lauk-pauk, ataupun Bu Ningrum yang cuma jaga warung sambil sesekali membicarakan setiap tetangga yang baru beli Avanza atau Ertiga dari hasil panen cabe keriting ketika harganya lagi sering-seringnya di puncak klasemen.
Ya, puncak klasemen macam Bayern Muenchen yang tak mau turun-turun kalau sudah nongkrong di atas daftar klasemen, sombong betul mereka itu kata para bujang lapuk poskamling yang kebanyakan dari mereka pendukung Dortmund. Bagi mereka setiap hari adalah malam minggu. Karena sebagian besar dari mereka merupakan aktivis yang berperan dalam menjaga kestabilan pengangguran di Indonesia agar selalu masuk dalam nominasi 10 besar negara dengan tingkat pengangguran terbanyak. Bapak presiden mungkin harus banyak berterima kasih kepada boy band “The bujang Lapuk,” kami yang ikut berperan serta menjaga nama bangsa ini agar tetap dikenal setidaknya untuk wilayah Asia tenggara.
“Merdeka.. merdeka.. merdeka..,” batin mereka seperti punya kebanggaan sendiri dengan gelar bujak lapuk tuna karya penunggu poskamling suporter sejati Borussia Dortmund padahal nama 11 pemainnya pun tak hafal semua.
“Mursinah.. Mursinah,” apa ia harus jadi seperti para bujang lapuk itu yang tak perlu pusing-pusing memikirkan harga cabe dan bawang yang naik setinggi roket Neil Amstrong, “Neil Amstrong? ealah sopo meneh kuwi?”
Apakah ada alasan lain yang harus membuat ia meninggalkan pekerjaannya selain harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi? Sepertinya tidak terlalu jauh dengan masalah yang pada umumnya dialami pedagang di pasar tempatnya berjualan. Preman, ya preman yang tadi ia bilang bak rambo kulit burik, sering minta upeti seperti prajurit majapahit dalam kisah Angling Dharma atau apalah itu. Mereka yang berotot besar akan dengan sangat mudah jika hanya meminta jatah harian kepada para pedagang yang sebagian besar adalah para lansia dengan usia yang bisa saja tewas menggelepar dengan satu kali sabetan seikat batang kangkung. Preman-preman itu sebenarnya hanya seperti sekumpulan bedug yang kosong isi kepalanya, namun orang di belakang merekalah yang berperan sebagai koordinator orang-orang berbadan rambo itu.
Pernah sekali ia melihat pria berpakaian rapi kemeja merah jambu dengan kacamata ala agen 007 James Bond dengan perutnya yang buncit seperti mau tumpah ke luar dari kemeja merah jambunya itu, kalau dilihat-lihat orang itu malah lebih mirip maaf, babi buncit merah muda yang sering Mursinah lihat sebagai peliharaan orang-orang barat yang akhir hidupnya berada di box freezer tempat orang londo membeli daging yang masih segar. Mungkin para penghuni pasar berharap orang itu berakhir di box freezer juga jika mengingat kelakuannya yang menjadi otak di balik pemerasan berkepanjangan yang mereka bilang sebagai layanan keamanan pasar.
Ke manakah security pasar yang secara resmi ditugaskan pemerintah kota? Mereka ada, ya, masih ada di pasar itu, tapi lihat saja mereka semua berusia hampir sama dengan para pedagang pasar, atau jangan-jangan pasar ini semuanya berisikan teman-teman seperjuangan waktu zaman penjajahan Belanda dulu yang berkoalisi membangun sebuah benteng pertahanan yang berbentuk pasar atau kelompok politisi Belanda yang membangun gudang jual beli senjata laras panjang sampai meriam ukuran besar yang tak perlu pakai karbit untuk melontarkan ledakan? atau malah dulu di pasar ini menjadi asal-muasal adanya rambo? entahlah.
Para pelaku sejarah di pasar itu pun tidak ingat betul bagaimana sejarah pasar itu dibangun. Sudahlah, mereka terlalu tua untuk mengingat bagaimana pasar itu sampai bisa berdiri di situ, untuk mengingat sarapan mereka tadi pagi pun terkadang harus bertanya dulu kepada anak mereka di rumah, jikalau mereka bisa ingat mungkin ketika sarapan mereka dengan semur jengkol atau pete yang baunya masih terdeteksi sampai sarapan di hari berikutnya. Yang bisa sedikit mereka ingat ketika waktu Belanda masih mengkudeta kampung mereka yaitu ketika sedang duduk di sekolah non formal yang waktu itu didirikan oleh warga sendiri yang kesehariannya tak perlu memakai seragam sekolah seperti sekarang.
Hanya perlu pakai sandal jepit dan baju seadanya untuk berangkat sekolah karena untuk anak-anak dari kalangan seperti mereka tidak boleh mengenyam pendidikan di sekolah formal, setidaknya itu yang sering diceritakan para sesepuh pasar ketika mereka sedang saling mendongeng sesama alumni pekerja paksa mungkin. Sepertinya kondisi seperti itu pada akhirnya akan menjadi pemakluman masyarakat seperti Mursinah dan para penghuni pasar lainnya. Sejauh ini upaya melawan dari para pedagang hanya dengan berusaha mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tarif pajak untuk para preman, setidaknya dengan itu mereka masih bisa menghidupi keluarganya sampai sekarang.
Mungkin untuk Mursinah, bagaimanapun juga cerita hidupnya tak boleh hanya bercerita di sekitaran ikan teri atau pun baceman tahu tempe yang biasa dijualnya. Paling tidak kebutuhan keluarganya harus ia penuhi sendiri karena tuntutan hidup tak bisa ditutupi hanya dengan keranjang yang sampai senja habis tak pernah dibawa kosong ketika pulang ke rumah. Karena menurutnya, jalan untuk memenuhi kebutuhan tidak mungkin jika tanpa proses terlebih dahulu, entah itu panjang atau pendek. Keledai saja tak bisa ujug-ujug dibilang dungu tanpa adanya hal bodoh yang ia lakukan sebelumnya. Setidaknya itu yang pernah rambo bilang kepadanya.