Senin, 24 Oktober 2016

Windy

Sumber gambar : https://ae01.alicdn.com/kf/HTB1US0nIVXXXXa6XXXXq6xXFXXXJ/Abstract-font-b-Lady-b-font-With-Unbrella-Oil-Painting-On-Canvas-Abstract-font-b-Lady.jpg

`“Lagi apa kamu Win ?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari balik jendela kelas. Aku hanya diam selagi Erika masuk ke dalam kelas dan segera menarik bangku untuk duduk di sampingku.
“Dia nembak aku tadi Er.”
“Siapa ? Aryo ?”
“Iya.”
“Bagus donk, kamu kan juga suka sama dia.”
“Itu dulu Er, setelah aku tau kalau dia mau dijodohkan dengan anak teman bapaknya, semenjak itu aku tak punya perasaan lagi dengannya, apalagi jika aku harus bersaing untuk Aryo, aku kan perempuan Er.”
“Ya kenapa engga Win, sekarang bukan jamannya lagi selalu cowok yang ngejar cewek, kita juga punya hak yang sama, apalagi itu buat perasaanmu sendiri.”
“Entahlah Er, tapi sekarang perasaanku ngga lagi ke Aryo, dia rasanya biasa saja sekarang.”
“Trus kamu jawab engga ?”
Aku diam sejenak, “aku ngga jawab apa-apa, aku masih bingung.”
“Kamu masih suka sama dia Win, buktinya kamu masih bingung kan ?”
“Entahlah, soal itu aku juga bingung.”
“Trus kamu mau gimana sekarang ? Jangan gini terus donk, aku juga bingung harus gimana kalau kamu ngga ada tindakan.”
“Aku mau ke kantin Er.”
“Aku ikut.”
Kami berdua pun berjalan beriringan menyusuri lorong kelas-kelas yang jika sekilas dilihat desainnya mirip lorong bangsal-bangsal di rumah sakit, dari tiang-tiangnya yang saling berdekatan di kanan dan kiri lorong, seperti sebuah gapura yang sengaja di pasang dengan jarak antar sepasang tiang masing-masing satu setengan meter yang ramah menyambut lalu lalang langkah kaki menyajikan ketukan dengan berbagai irama dan derajat seseorang yang dapat terlihat dari model sepatu yang mereka kenakan.
“Kamu pesen apa, aku yang traktir” Tanya Erika.
“Yang biasa aja Er.”
“Oke” jawab Erika sambil berjalan ke arah stand penjual bakso malang favoritku.
Tak lama kemudian Erika kembali dengan kedua tangannya membawa es jeruk dan teh botol seperti yang biasa kami minum bersama kalau sedang menghabiskan waktu berdua di kantin.
Aku dan Erika memang sudah lama sekali bersahabat, semenjak duduk di bangku SMA, kami berdua sama-sama mengambil kelas IPA, dan kebetulan kami juga belajar di kelas yang sama. Entah mengapa kami seperti punya keterikatan satu sama lain, kami sering sekali dipertemukan dalam satu kegiatan yang sama, seperti ekstrakulikuler menari, pencak silat, maupun ketika aku terpilih menjadi anggota tonti SMA dia pun juga. Dari situ kami berdua semakin mengenal rahasia satu sama lain. Dari beberapa laki-laki yang pernah menjadi pacarku, Erika hampir semuanya tahu, begitupun sebaliknya. Sampai akhirnya kami berdua sama-sama kuliah di Fakultas Biologi UI Jakarta.  Tuhan seperti menempatkan kami ke dalam lipatan catatan yang sama, dimana setiap kejadian adalah garis-garis lipatan di dalamnya. Sampai pada akhirnya lipatan itu sampai pada Aryo, lelaki bertubuh tinggi sedang mahasiswa Fakultas Ilmu Politik yang selama beberapa semester mengusutkan pikiran kami, terutama aku.
“Apa ada orang lain Win ?”
“Ngga ada, aku lagi pengen sendiri sekarang Er?”
“Tapi permintaan orang tuamu gimana? Bukannya mereka bilang nggak mau lama-lama liat kamu sendiri, lagi pula umurmu udah 24 lho !.”
“Jangan ngomongin umur ah !” Kataku sedikit kesal.
“Mereka pasti lebih tahu kondisiku sekarang Er, aku harap mereka bisa ngerti.”
“Hehe.. Bercanda Win, mungkin kamu perlu cerita masalah ini ke mereka, barangkali orang tuamu lebih berpengalaman tentang masalahmu sekarang”
Orang tuaku memang sudah beberapa kali menginginkan aku untuk segera membawa pulang laki-laki untuk dikenalkan kepada mereka sebagai calon suami. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk menjodohkanku dengan anak teman sekantor ayah, tapi dari beberapa laki-laki yang mereka kenalkan denganku, belum ada yang bisa menggantikan posisi Aryo dipikiranku.
“Silahkan non 2 mangkok bakso malang” tiba-tiba ibu penjual bakso sejenak menghentikan obrolan kami berdua sambil membawa nampan berisi 2 mangkok bakso malang yang tadi sudah dipesan Erika.
“Makasih Bu” jawabku pelan.
“Yang sabar ya Win, masalah kamu Cuma  belum waktunya selesai.”
“Iya makasih Er, maaf ya aku jadi sering merepotkan.
“Jangan bilang gitu ah, lagipula masalah kan kita sudah sering gantian Win, sekarang kamu, bisa jadi besok giliranku, tapi asal ada masalah jangan aku terus ya yang traktir makan..hehe,” canda Erika.
“Haha.. inget aja kamu Er kalau urusan makan.”
Kami masih bisa sedikit bercanda di sela-sela masalahku yang akhirnya jadi masalah Erika juga. Sebenarnya aku tak mau melibatkan Erika dalam masalahku dengan Aryo, tapi kebiasaan kami dari waktu sekolah yang tidak bisa jika menyimpan masalah kami berdua sendirian, akhirnya yang dari awal niat tidak ingin membagi bebanku ini dengan Erika harus bocor juga pada akhirnya lantaran kebiasaan kami yang saling ketergantungan satu sama lain. Apalagi karena usia kami yang sudah dibilang bukan ABG lagi, setiap ada masalah yang berhubungan dengan percintaan, akan lebih terasa pelik karena kondisinya yang juga pasti akan melibatkan keluarga. Sering jika keluarga besar kami berkumpul dalam satu acara, banyak pertanyaan yang terasa menyudutkan bagi para perempuan seperti kami, “kapan nikah ?” atau “udah ada yang ngelamar belum ?”. Itu sedikit diantara banyak pertanyaan yang sering keluarga besar kami masing-masing lontarkan, atau jika tidak sengaja orang tua kami melihat foto di handphone kami masing-masing yang tengah selfie dengan teman laki-laki, mereka pasti bertanya ini itu, ini siapa lah, dari nama, alamat, usia dan sebagainya. Mungkin karena kami perempuan yang kata mereka tak baik jika sendiri lama-lama, takut terjadi apa-apa dengan kami mengingat jaman sekarang yang rentan bagi perawan seperti kami itu ada benarnya juga.
Beberapa menit telah melewati obrolan kami berdua di kantin hingga tak terasa hampir 2 jam mangkok bakso ini kami biarkan teronggok tak diambil pemiliknya. Cengkrama para mahasiswa yang entah sudah berapa kali berganti pemilik mulutnya pun seperti tak bersinggungan dengan keberadaan kami berdua di sini. Siang yang semakin menengadah, cahaya matahari yang menyusup masuk dari kaca-kaca gedung fakultas kami yang memang sengaja dibuka sebagai tambahan penerangan di dalam ruang-ruang kelas, tak terkecuali area kantin yang memang didesain di ruangan terbuka dengan jendela-jendela kaca di sekeliling ruangan menambah kesan santai yang cocok untuk menghabiskan jam-jam kosong ketika menunggu dosen yang terkadang datang terlambat, atau seperti kami yang tak ada jam kuliah dan sengaja ke kampus hanya untuk membunuh penat ketika hanya seharian berdiam diri di dalam rumah.
Tiba-tiba aku teringat ketika awal aku kenal dengan Aryo. Sebenarnya jika dilihat ia tak begitu menarik secara fisik, tinggi, kurus, badannya pun kalah kekar jika dibanding dengan mahasiswa yang seangkatan dengannya. Aku dulu sama sekali tak menaruh hati padanya. Tapi Tuhan punya waktu dan tempatnya sendiri ketika perasaan itu tiba-tiba muncul hanya karena minat kami yang sama-sama suka duduk sendirian. Setahuku ia juga tak punya banyak teman perempuan karena memang dilihat dari sikapnya yang lebih sering diam dan menutup diri. Ketika kami sudah saling mengenal pun tak terlalu banyak yang dibicarakan. Hubungan kami memang terlihat begitu sepi, senyap namun riuh di dalam. Tidak banyak yang tahu kalau kami punya hubungan istimewa terkecuali Erika yang memang tak pernah aku batasi cerita apa saja yang terjadi padaku, bahkan lebih banyak dari apa yang orang tuaku ketahui. Mungkin karena kami seusia sehingga aku merasa lebih nyaman ketika menceritakan segala masalahku padanya. Menurutku ia sudah menjadi orang paling pandai dalam memberikan solusi pada setiap masalah yang datang padaku. Aku tak membantah jika waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada siapapun termasuk orang tuaku sendiri. Menurutmu ini berlebihan ? tidak bagiku, aku hanya merasa semua masalahku hanya Erika yang berhak tahu. Apa salahnya jika perasaan nyaman itu aku jatuhkan untuk sahabat sendiri. Bukankah setiap orang berhak menentukan dimana tempat ia merasa nyaman ? termasuk kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar