Sumber gambar : https://ae01.alicdn.com/kf/HTB1US0nIVXXXXa6XXXXq6xXFXXXJ/Abstract-font-b-Lady-b-font-With-Unbrella-Oil-Painting-On-Canvas-Abstract-font-b-Lady.jpg
`“Lagi apa kamu Win ?” tiba-tiba sebuah
suara mengagetkanku dari balik jendela kelas. Aku hanya diam selagi Erika masuk
ke dalam kelas dan segera menarik bangku untuk duduk di sampingku.
“Dia nembak aku tadi Er.”
“Siapa ? Aryo ?”
“Iya.”
“Bagus donk, kamu kan juga suka sama
dia.”
“Itu dulu Er, setelah aku tau kalau
dia mau dijodohkan dengan anak teman bapaknya, semenjak itu aku tak punya
perasaan lagi dengannya, apalagi jika aku harus bersaing untuk Aryo, aku kan
perempuan Er.”
“Ya kenapa engga Win, sekarang bukan
jamannya lagi selalu cowok yang ngejar cewek, kita juga punya hak yang sama,
apalagi itu buat perasaanmu sendiri.”
“Entahlah Er, tapi sekarang
perasaanku ngga lagi ke Aryo, dia rasanya biasa saja sekarang.”
“Trus kamu jawab engga ?”
Aku diam sejenak, “aku ngga jawab
apa-apa, aku masih bingung.”
“Kamu masih suka sama dia Win,
buktinya kamu masih bingung kan ?”
“Entahlah, soal itu aku juga
bingung.”
“Trus kamu mau gimana sekarang ?
Jangan gini terus donk, aku juga bingung harus gimana kalau kamu ngga ada
tindakan.”
“Aku mau ke kantin Er.”
“Aku ikut.”
Kami berdua pun berjalan beriringan
menyusuri lorong kelas-kelas yang jika sekilas dilihat desainnya mirip lorong
bangsal-bangsal di rumah sakit, dari tiang-tiangnya yang saling berdekatan di
kanan dan kiri lorong, seperti sebuah gapura yang sengaja di pasang dengan
jarak antar sepasang tiang masing-masing satu setengan meter yang ramah
menyambut lalu lalang langkah kaki menyajikan ketukan dengan berbagai irama dan
derajat seseorang yang dapat terlihat dari model sepatu yang mereka kenakan.
“Kamu pesen apa, aku yang traktir”
Tanya Erika.
“Yang biasa aja Er.”
“Oke” jawab Erika sambil berjalan ke
arah stand penjual bakso malang favoritku.
Tak lama kemudian Erika kembali
dengan kedua tangannya membawa es jeruk dan teh botol seperti yang biasa kami
minum bersama kalau sedang menghabiskan waktu berdua di kantin.
Aku dan Erika memang sudah lama
sekali bersahabat, semenjak duduk di bangku SMA, kami berdua sama-sama
mengambil kelas IPA, dan kebetulan kami juga belajar di kelas yang sama. Entah
mengapa kami seperti punya keterikatan satu sama lain, kami sering sekali
dipertemukan dalam satu kegiatan yang sama, seperti ekstrakulikuler menari, pencak
silat, maupun ketika aku terpilih menjadi anggota tonti SMA dia pun juga. Dari
situ kami berdua semakin mengenal rahasia satu sama lain. Dari beberapa
laki-laki yang pernah menjadi pacarku, Erika hampir semuanya tahu, begitupun
sebaliknya. Sampai akhirnya kami berdua sama-sama kuliah di Fakultas Biologi UI
Jakarta. Tuhan seperti menempatkan kami
ke dalam lipatan catatan yang sama, dimana setiap kejadian adalah garis-garis
lipatan di dalamnya. Sampai pada akhirnya lipatan itu sampai pada Aryo, lelaki
bertubuh tinggi sedang mahasiswa Fakultas Ilmu Politik yang selama beberapa
semester mengusutkan pikiran kami, terutama aku.
“Apa ada orang lain Win ?”
“Ngga ada, aku lagi pengen sendiri
sekarang Er?”
“Tapi permintaan orang tuamu gimana?
Bukannya mereka bilang nggak mau lama-lama liat kamu sendiri, lagi pula umurmu
udah 24 lho !.”
“Jangan ngomongin umur ah !” Kataku
sedikit kesal.
“Mereka pasti lebih tahu kondisiku sekarang
Er, aku harap mereka bisa ngerti.”
“Hehe.. Bercanda Win, mungkin kamu
perlu cerita masalah ini ke mereka, barangkali orang tuamu lebih berpengalaman
tentang masalahmu sekarang”
Orang tuaku memang sudah beberapa
kali menginginkan aku untuk segera membawa pulang laki-laki untuk dikenalkan
kepada mereka sebagai calon suami. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk
menjodohkanku dengan anak teman sekantor ayah, tapi dari beberapa laki-laki
yang mereka kenalkan denganku, belum ada yang bisa menggantikan posisi Aryo
dipikiranku.
“Silahkan non 2 mangkok bakso malang”
tiba-tiba ibu penjual bakso sejenak menghentikan obrolan kami berdua sambil
membawa nampan berisi 2 mangkok bakso malang yang tadi sudah dipesan Erika.
“Makasih Bu” jawabku pelan.
“Yang sabar ya Win, masalah kamu Cuma
belum waktunya selesai.”
“Iya makasih Er, maaf ya aku jadi
sering merepotkan.
“Jangan bilang gitu ah, lagipula
masalah kan kita sudah sering gantian Win, sekarang kamu, bisa jadi besok
giliranku, tapi asal ada masalah jangan aku terus ya yang traktir makan..hehe,”
canda Erika.
“Haha.. inget aja kamu Er kalau
urusan makan.”
Kami masih bisa sedikit bercanda di
sela-sela masalahku yang akhirnya jadi masalah Erika juga. Sebenarnya aku tak
mau melibatkan Erika dalam masalahku dengan Aryo, tapi kebiasaan kami dari
waktu sekolah yang tidak bisa jika menyimpan masalah kami berdua sendirian, akhirnya
yang dari awal niat tidak ingin membagi bebanku ini dengan Erika harus bocor
juga pada akhirnya lantaran kebiasaan kami yang saling ketergantungan satu sama
lain. Apalagi karena usia kami yang sudah dibilang bukan ABG lagi, setiap ada masalah
yang berhubungan dengan percintaan, akan lebih terasa pelik karena kondisinya
yang juga pasti akan melibatkan keluarga. Sering jika keluarga besar kami
berkumpul dalam satu acara, banyak pertanyaan yang terasa menyudutkan bagi para
perempuan seperti kami, “kapan nikah ?” atau “udah ada yang ngelamar belum ?”.
Itu sedikit diantara banyak pertanyaan yang sering keluarga besar kami
masing-masing lontarkan, atau jika tidak sengaja orang tua kami melihat foto di
handphone kami masing-masing yang tengah selfie dengan teman laki-laki, mereka
pasti bertanya ini itu, ini siapa lah, dari nama, alamat, usia dan sebagainya.
Mungkin karena kami perempuan yang kata mereka tak baik jika sendiri lama-lama,
takut terjadi apa-apa dengan kami mengingat jaman sekarang yang rentan bagi
perawan seperti kami itu ada benarnya juga.
Beberapa menit telah melewati obrolan
kami berdua di kantin hingga tak terasa hampir 2 jam mangkok bakso ini kami
biarkan teronggok tak diambil pemiliknya. Cengkrama para mahasiswa yang entah
sudah berapa kali berganti pemilik mulutnya pun seperti tak bersinggungan
dengan keberadaan kami berdua di sini. Siang yang semakin menengadah, cahaya
matahari yang menyusup masuk dari kaca-kaca gedung fakultas kami yang memang
sengaja dibuka sebagai tambahan penerangan di dalam ruang-ruang kelas, tak
terkecuali area kantin yang memang didesain di ruangan terbuka dengan
jendela-jendela kaca di sekeliling ruangan menambah kesan santai yang cocok
untuk menghabiskan jam-jam kosong ketika menunggu dosen yang terkadang datang
terlambat, atau seperti kami yang tak ada jam kuliah dan sengaja ke kampus
hanya untuk membunuh penat ketika hanya seharian berdiam diri di dalam rumah.
Tiba-tiba aku teringat ketika awal
aku kenal dengan Aryo. Sebenarnya jika dilihat ia tak begitu menarik secara
fisik, tinggi, kurus, badannya pun kalah kekar jika dibanding dengan mahasiswa
yang seangkatan dengannya. Aku dulu sama sekali tak menaruh hati padanya. Tapi
Tuhan punya waktu dan tempatnya sendiri ketika perasaan itu tiba-tiba muncul
hanya karena minat kami yang sama-sama suka duduk sendirian. Setahuku ia juga
tak punya banyak teman perempuan karena memang dilihat dari sikapnya yang lebih
sering diam dan menutup diri. Ketika kami sudah saling mengenal pun tak terlalu
banyak yang dibicarakan. Hubungan kami memang terlihat begitu sepi, senyap
namun riuh di dalam. Tidak banyak yang tahu kalau kami punya hubungan istimewa
terkecuali Erika yang memang tak pernah aku batasi cerita apa saja yang terjadi
padaku, bahkan lebih banyak dari apa yang orang tuaku ketahui. Mungkin karena
kami seusia sehingga aku merasa lebih nyaman ketika menceritakan segala
masalahku padanya. Menurutku ia sudah menjadi orang paling pandai dalam
memberikan solusi pada setiap masalah yang datang padaku. Aku tak membantah
jika waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada siapapun termasuk orang
tuaku sendiri. Menurutmu ini berlebihan ? tidak bagiku, aku hanya merasa semua
masalahku hanya Erika yang berhak tahu. Apa salahnya jika perasaan nyaman itu
aku jatuhkan untuk sahabat sendiri. Bukankah setiap orang berhak menentukan
dimana tempat ia merasa nyaman ? termasuk kami.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar