Bahkan sedikit saja aku mengenal
Ningrum, gadis berparas khas jawa tengah dengan kulit sawo matang yang pas
sekali matangnya tidak terlalu hitam dan tidak terlalu putih. Yang membuat ia
begitu istimewa adalah caranya berperilaku yang sangat-sangat tak apa adanya
jika melihat keluarganya yang begitu terpandang karena bapaknya Ningrum adalah
kepala pengajar sekaligus pendiri pondok pesantren Darrul ulum Wates. Dari
semenjak kecil ajaran Islam yang begitu melekat di keluarganya yang membuat
Ningrum menjadi sosok perempuan yang istimewa di mataku, dengan kesederhanaan
yang tak pernah dibuat-buat dan tutur kata yang sangat tertata lembut, bahkan
dewi kwan in pun tak sanggup menandingi kelembutan kata-katanya.
Namaku Ismo lebih lengkapnya
Ismoyono, nama itu diberikan atas saran kyai Ahmad yang kala itu memang
dimintai tolong untuk memberikan nama yang baik oleh bapakku, kata beliau itu
artinya kebijaksanaan, karena harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi laki-laki
yang bijaksana, bijak dan apa adanya begitu katanya.Semua orang tua pasti punya
harapan yang besar kepada setiap anak yang dititipkan kepada mereka, entah
bagaimanapun kondisinya biasanya anak akan diberikan nama yang baik dan di
dalamnya mengandung arti dan harapan untuk anak mereka jika sudah besar nanti.Sekarang
usiaku sudah 26 tahun, bisa dibilang bujang matang menjelang lapuk, teman-teman
seusiaku hampir semuanya sudah menikah bahkan ada yang sudah beranak 1. Mungkin
karena keseharianku terlalu sibuk dengan tumpukan buku-buku pelajaran dari
percetakan yang setiap hari biasa ku antarkan ke beberapa sekolah, dari mulai
SD smpai SMK. Setiap ada penerbitan LKS baru para kurir sepertiku setiap hari
selalu sibuk untuk berkeliling untuk mengantarkan setidaknya 20 paket yang di
dalamnya terdiri dari 10 LKS, dan dari pihak percetakan menargetkan dalam
sehari harus 24 sekolahan yang menerima kiriman LKS dari mereka.
Pekerjaan
ini sudah kutekuni sejak lama, dari ketika lulus sekolah menengah kejuruan tahun
2005, dulunya sempat beberapa kali daftar melalui BKK sekolah untuk magang di
perusahaan di daerah Jakarta Timur, namun dari beberapa perusahaan yang sudah
coba aku lamar, belum ada yang mengijinkan aku untuk menjadi karyawan di
perusahaan mereka, sampai akhirnya ada kawan yang menawarkan pekerjaan menjadi
kurir untuk menggantikan pamannya yang sudah mencapai masa purna tugas.
“Is, nanti kamu tolong anterin LKS ke SD Jurang jero ya, hari
ini tinggal ini thok, habis itu kalau
mau pulang ngga apa-apa”
“Siap Pak ! ini masih LKS yang kemarin pak ?”
Iya, Is, nanti tolong anterin ya, kamu kan sekalian pulang
to ?”
“Iya pak”
Pak Syamsul adalah manager bagian
pengiriman di sini, beliau dikenal ramah pada siapapun termasuk anak buahnya
sendiri. Beliau dulunya juga seorang kurir, mulai bekerja di sini sejak tahun
1996, karena ketekunan dan kejujurannya, beliau akhirnya di angkat menjadi
manager pada pertengahan tahun 2003, dan kini siapa yang tidak mengenal beliau
yang biasa dipanggil Pak Sam. Sosok yang murah senyum di usianya yang hampir
kepala 5, terlihat dari kepalanya yang sudah separuhnya diselimuti uban dan
gigi yang kalau tertawa seperti mau keluar dari akarnya. Tetapi hanya beliau
saja yang tetap kuat menghadapi pasang surutnya pabrik percetakan ini, entah
karena terpaksa tidak ada pekerjaan lain atau alasan lain, aku sendiri juga
kurang begitu tahu riwayat perjuangannya di pabrik ini. Yang sempat beliau
ceritakan kepada kami adalah ketika percetakan ini hampir tutup pada tahun 2000
an karena salah satu pimpinannya dulu ada yang menyalahgunakan kekuasaannya di
sini, waktu itu beliau pernah menceritakan bahwa uang kas percetakan yang nilainya
hampir mencapai 1 M diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Dan setelah 1,5
tahun ia bekerja sebagai pimpinan, kasus itu baru terkuak. Semua bingung waktu
itu, termasuk Koh Anming sendiri sebagai pemilik percetakan. Pada akhirnya
semua dimulai lagi dari awal. Termasuk bagaimana sibuknya Pak Syamsul
bolak-balik ke bank untuk mengantar Koh Anming. Tapi berkat peristiwa itu juga
Pak Syamsul akhirnya diserahi jabatan yang sekarang ini beliau duduki. Aku
sedikit terinspirasi dari kisah hidup Pak Syamsul. Kami-kami yang bertugas
sebagai kurir baru sangat kagum dengan sosok beliau yang rendah hati dan grapyak dengan semua orang.
***
Ningrum
sudah lama bekerja sebagai tenaga pengajar di SD Jurang jero, meskipun ia ,masih
berstatus sebagai guru honorer, tetapi semangatnya untuk menyalurkan ilmu
sangat besar, dilihat dari kerelaannya untuk mengorbankan segala kepentingan
untuk memberikan ilmu pada setiap anak-anak di daerah tersebut, dari mulai
mengajar sebagai guru SD maupun menjadi guru les pada sore harinya. Semua hal
itu yang membuat aku begitu menaruh hati pada perempuan itu, dan mengapa aku
begitu betah dengan pekerjaan ini karena ada banyak jalan untukku bertemu
dengan Ningrum walaupun hanya untuk urusan pekerjaan. Sepertinya nasib yang
dirancang Tuhan bak gayung bersambut dengan apa yang telah terencana jauh di
lubuk hatiku, semua seperti sudah ditulis serapi mungkin untuk sebuah dongeng
yang pada kalimat akhir akan mengisahkan pangeran dan tuan putri hidup damai
selamanya. Jodoh memang menjadi takdir Tuhan, tapi dengan siapa kita jatuh
cinta itu adalah pilihan, tukang minyak kelapa kadang juga tercium wangi meski
ia tak menjual minyak kasturi. Bisa jadi Tuhan menjodohkanku dengan Ningrum
supaya ia bisa mengajariku yang memang tidak pandai matematika, atau supaya aku
bisa mengajaknya berkeliling kota Jogja mengingat ia jarang sekali ada waktu
untuk jalan-jalan meski hanya sekedar untuk menghilangkan penatnya sebagai
pengajar. “Ah.. Cinta lebih sering membuat manusia pandai menulis kisah drama
romansa, bahkan melebihi cerita cinta kapal Titanic tanpa ia harus karam
dihantam gunung es pada cerita akhirnya, atau kisah Romeo dan Juliet dengan
menghilangkan skenario bahwa mereka berdua harus meregang nyawa di akhir
cerita.
Siang
itu sebelum pulang sesuai perintah Pak Syamsul aku segera mengantarkan LKS ke
SD Jurang jero yang jaraknya tak jauh dari tempatku bekerja, pikirku heran,
motor yang biasa aku pakai untuk berkeliling tiba-tiba jadi begitu ringan,
kecepatannya pun tak seperti biasanya, mungkin ia tahu kalau tuannya ingin
cepat-cepat sampai ke sekolahan, karena memang tujuanku ke SD Jurang jero tidak
semata-mata memenuhi perintah atasan, sebenarnya yang jadi tujuanku sejak awal
tak lain dan tak bukan adalah untuk bisa menemui Ningrum. Siang itu sebelum
masuk waktu ashar aku sudah tiba di SD Jurang jero, dengan jaket kulit warna
hitam pekat, sepekat keinginanku hari ini untuk bertemu Ningrum, aku mulai
berjalan dari tempat parkir tamu menuju ruang guru yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari tempatku memarkirkan motor, sengaja motor kuletakkan di dekat pintu
masuk agar tak perlu berjalan terlalu
jauh menuju ruang guru.
Suasana
lorong kelas begitu hangat, sepi sekali hanya terdengar suara sayup-sayup mesin
kendaraan yang lalu lalang melintas di jalanan depan pagar sekolah.
“Sore mas Ismo !!”
sapa tukang kebun sembari mengayunkan sapu lidinya ke arah pengki.
“Sore juga pak, Bapak belum pulang ?, nggak biasanya jam
segini masih di sekolah”.
“Belum mas, tadi pagi saya nganter istri saya rewang di tempat saudara, karena
rumahnya lumayan jauh, jadi saya ijin sama Bu Kepsek kalau hari ini masuk
siang, jadi biar jam kerjanya penuh saya pulangnya agak sore.”
Kita
memang sudah saling kenal karena beberapa kali aku datang ke sekolah ini untuk
mengantarkan lembaran-lembaran LKS, dan di sini pun sudah menjadi langganan
setiap ada terbitan LKS baru. Beberapa guru pun ada yang mengenalku sehingga ketika
aku datang ke sekolah ini tidak ada lagi rasa canggung jika harus bertemu para
pengajar, begitu juga Ningrum. “Ah.. Nama itu seperti sudah tertimbun begitu
lama di hati ini seperti tanaman kacang yang bijinya sudah terbentuk sempurna
namun masih ragu untuk dicabut takut kalau-kalau tidak berbuah baik.”
Akhirnya
langkah demi langkah mendekatkanku dengan pintu ruang guru yang disitu juga
tempat senyum manis Ningrum berserakan di atas meja kerjanya di sudut ruangan
tepatnya di bawah foto Bung Tomo dengan sorot matanya yang begitu gahar seolah
berteriak lantang “merdeka atau mati” menohok pria kurus kering pengantar LKS
yang berdiri dengan gagah yang seolah dibuat-buat demi tampil menawan untuk
bertemu dengan putri yang disekap jam sekolah.
“Tumben jam segini
baru dateng mas Ismo, biasanya sebelum dhuhur ??” Tiba-tiba Bu Kepsek memutus
perdebatanku dengan Bung Tomo.
“Eh.. Iya Bu, nanti
sekalian pulang, jadi kesini sore sekalian”.
O iya mas, LKS nya
sampean taruh meja yang pojok itu saja mas, nanti nota penerimaan barangnya ada
di mbak Ningrum”.
“Baik Bu” jawabku
pelan.
Jantungku
tiba-tiba berdetak dengan irama yang tak jelas, ia seperti mau keluar dari
balik baju dinas kerjaku. Dengan langkah tergopoh-gopoh lembaran-lembaran LKS ku
letakkan di atas meja. Padahal tadi rasanya tak seberat ini, nafasku rasanya
begitu pendek, tak sampai ke paru-paru hanya bolak-balik saja di ujung hidung.
“Eh, Mas Ismo”.
Tiba-tiba sapaan Ningrum hampir membunuhku saat itu, ditambah senyum yang
sangat sederhana yang tak bosan menikamku berkali-kali setiap kami bertemu.
“I..Iya Mbak Ningrum,
ini mau ditaruh dimana ?” Tanyaku basa-basi.
“Di sini saja ngga
apa-apa, mas Ismo duduk saja dulu”. Katanya sambil menunjuk kursi yang ada di
depan mejanya.
Ruangan
ini rasanya lengang sekali, semua kesibukan orang-orang yang ada di dalamnya
tiba-tiba hilang kecuali Ningrum dengan pulpen pilotnya yang sedang sibuk
mengisi nota. Detakan jarum jam dinding seperti mengisi keheningan kami berdua,
membentuk intonasi dengan detak jantung yang semakin mengiyakan perasaan untuk
perempuan ini.
Waktu
semakin sore, matahari yang sedari tadi menyapu lantai-lantai beton halaman
sekolahan kini berangsur berubah menguning menandakan waktu senja akan segera
tiba juga dengan jam pelajaran sekolah yang sebentar lagi akan usai.
“Teeeettt.”
Bel sekolah sudah berbunyi,
waktunya para siswa pulang ke rumah mereka masing-masing setelah menjalani jam
pelajaran tambahan. Para orang tua yang dari tadi sudah menunggu di luar
gerbang sekolah pun bersiap menyambut tawa-tawa renyah anak-anak mereka keluar
kelas. Suasana sekolahan yang tadinya hening kini mulai ramai dengan
langkah-langkah lari siswa-siswi di sepanjang lorong kelas-kelas mereka,
tawa-tawa saling ejek khas anak kecil, sorak sorai mereka yang memecah
keheningan sekolah menjadi suasana yang membuat sekolah ini begitu dicintai
para penghuninya.
Urusanku sebagai pengantar LKS
telah selesai bersamaan dengan para guru yang bersiap keluar ruangan untuk
pulang ke rumah mereka masing-masing tak terkecuali Ningrum dengan tas
selempang warna hitamnya yang dari dulu memang tak pernah gonta-ganti model.
Ciri wanita setia pikirku.
“Bu
guru Ningrum mau pulang” tanyaku bercanda.
“Ah,
mas Ismo bisa aja, iya mas, ini lagi mau beres-beres dulu sebentar.”
“Pulang
ke rumah naik apa Bu ?” tanyaku penasaran.
“Biasa
naik angkot mas, kebetulan angkot yang sering lewat depan sekolahan jalurnya
ada yang ke arah rumah.”
“Gimana kalau bareng saya aja bu ?, kebetulan
juga rumah saya searah sama bu guru” aku mencoba memberanikan diri menawarkan
tumpangan kepadanya berharap ia lebih memilih naik motorku daripada harus
menunggu angkot di depan sekolahan.
“Ah,
nanti mas Ismo repot lagi harus nganter saya ke rumah.”
“Eh,
engga repot kok, saya udah biasa kalau cuma masalah antar-mengantar, hehe.”
“Bisa
aja mas Ismo ini, ya udah nanti saya bareng mas Ismo aja kalau ngga ngrepotin.”
“Alhamdulillah”
syukurku dalam hati akhirnya setelah sekian lama keinginanku pulang bersama
dengan Ningrum hari ini terwujud.
Akhirnya
setelah semua selesai, kami dan para guru berjalan ke luar ruangan, kami semua saling
berpencar, ada sebagian guru-guru perempuan yang menuju ke gerbang sekolahan
karena sudah ditunggu suami mereka yang juga sudah dari tadi di depan gerbang,
ada juga sebagian dari kami yang membawa kendaraan masing-masing berjalan
beriringan menuju tempat parkir begitu juga dengan aku dan Ningrum. Sore tak
pernah sehangat ini pikirku, entah memang cuaca akhir-akhir ini sedang
cerah-cerahnya atau karena lantaran sore ini Ningrum akan pulang bersamaku ?.
Ah, entahlah, semua hal memang kadang tiba-tiba berubah sesuai perasaan,
terkadang sebuah urusan terasa begitu rumit ketika perasaan sedang tidak enak-enaknya,
atau pun sebaliknya, jika hati ini sedang merasa bahagia, semua masalah yang
kita alami tidak membuat kita terlalu banyak protes dengan apa saja yang
diberikan Tuhan. Mungkin ada benarnya jika orang tua menyuruh kita untuk lebih
banyak bersyukur ketimbang menghabiskan waktu hanya untuk mengeluhkan keadaan
yang tidak sesuai keinginan. Semua akan berjalan sesuai koridor yang sudah
Tuhan siapkan untuk masing-masing hamba-Nya, tinggal siapa yang melewati dan
sebesar apa kesadaran mereka terhadap keadaan koridor mereka sendiri, apakah
akan bersih dari lantai sampai langit-langitnya, atau yang hampir di setiap
sudutnya di penuhi lumut dan sampah yang berserakan.
Satu-persatu motor para guru
meninggalkan ruang parkir sekolahan, wajah-wajah senang yang mengerumuni ruang
parkir membuat suasana begitu nyaman. Aku bersyukur karena lewat lembaran LKS yang
kuantarkan, bisa sedikit membantu mereka membagikan ilmu kepada para siswa,
juga ketika perasaan cinta kepada Ningrum sedikit terwujud seiring dengan
motorku yang mulai melaju mengantarkan kami berdua pulang ke rumah.
sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/51d6815705346a7063000005/lukisan-abstrak-penuh-misteri/5