Rabu, 08 Juni 2016

Cerpen : LKS




LKS

Bahkan sedikit saja aku mengenal Ningrum, gadis berparas khas jawa tengah dengan kulit sawo matang yang pas sekali matangnya tidak terlalu hitam dan tidak terlalu putih. Yang membuat ia begitu istimewa adalah caranya berperilaku yang sangat-sangat tak apa adanya jika melihat keluarganya yang begitu terpandang karena bapaknya Ningrum adalah kepala pengajar sekaligus pendiri pondok pesantren Darrul ulum Wates. Dari semenjak kecil ajaran Islam yang begitu melekat di keluarganya yang membuat Ningrum menjadi sosok perempuan yang istimewa di mataku, dengan kesederhanaan yang tak pernah dibuat-buat dan tutur kata yang sangat tertata lembut, bahkan dewi kwan in pun tak sanggup menandingi kelembutan kata-katanya.
Namaku Ismo lebih lengkapnya Ismoyono, nama itu diberikan atas saran kyai Ahmad yang kala itu memang dimintai tolong untuk memberikan nama yang baik oleh bapakku, kata beliau itu artinya kebijaksanaan, karena harapan orang tua yang ingin anaknya menjadi laki-laki yang bijaksana, bijak dan apa adanya begitu katanya.Semua orang tua pasti punya harapan yang besar kepada setiap anak yang dititipkan kepada mereka, entah bagaimanapun kondisinya biasanya anak akan diberikan nama yang baik dan di dalamnya mengandung arti dan harapan untuk anak mereka jika sudah besar nanti.Sekarang usiaku sudah 26 tahun, bisa dibilang bujang matang menjelang lapuk, teman-teman seusiaku hampir semuanya sudah menikah bahkan ada yang sudah beranak 1. Mungkin karena keseharianku terlalu sibuk dengan tumpukan buku-buku pelajaran dari percetakan yang setiap hari biasa ku antarkan ke beberapa sekolah, dari mulai SD smpai SMK. Setiap ada penerbitan LKS baru para kurir sepertiku setiap hari selalu sibuk untuk berkeliling untuk mengantarkan setidaknya 20 paket yang di dalamnya terdiri dari 10 LKS, dan dari pihak percetakan menargetkan dalam sehari harus 24 sekolahan yang menerima kiriman LKS dari mereka.
                Pekerjaan ini sudah kutekuni sejak lama, dari ketika lulus sekolah menengah kejuruan tahun 2005, dulunya sempat beberapa kali daftar melalui BKK sekolah untuk magang di perusahaan di daerah Jakarta Timur, namun dari beberapa perusahaan yang sudah coba aku lamar, belum ada yang mengijinkan aku untuk menjadi karyawan di perusahaan mereka, sampai akhirnya ada kawan yang menawarkan pekerjaan menjadi kurir untuk menggantikan pamannya yang sudah mencapai masa purna tugas.
“Is, nanti kamu tolong anterin LKS ke SD Jurang jero ya, hari ini tinggal ini thok, habis itu kalau mau pulang ngga apa-apa”
“Siap Pak ! ini masih LKS yang kemarin pak ?”
Iya, Is, nanti tolong anterin ya, kamu kan sekalian pulang to ?”
“Iya pak”
Pak Syamsul adalah manager bagian pengiriman di sini, beliau dikenal ramah pada siapapun termasuk anak buahnya sendiri. Beliau dulunya juga seorang kurir, mulai bekerja di sini sejak tahun 1996, karena ketekunan dan kejujurannya, beliau akhirnya di angkat menjadi manager pada pertengahan tahun 2003, dan kini siapa yang tidak mengenal beliau yang biasa dipanggil Pak Sam. Sosok yang murah senyum di usianya yang hampir kepala 5, terlihat dari kepalanya yang sudah separuhnya diselimuti uban dan gigi yang kalau tertawa seperti mau keluar dari akarnya. Tetapi hanya beliau saja yang tetap kuat menghadapi pasang surutnya pabrik percetakan ini, entah karena terpaksa tidak ada pekerjaan lain atau alasan lain, aku sendiri juga kurang begitu tahu riwayat perjuangannya di pabrik ini. Yang sempat beliau ceritakan kepada kami adalah ketika percetakan ini hampir tutup pada tahun 2000 an karena salah satu pimpinannya dulu ada yang menyalahgunakan kekuasaannya di sini, waktu itu beliau pernah menceritakan bahwa uang kas percetakan yang nilainya hampir mencapai 1 M diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Dan setelah 1,5 tahun ia bekerja sebagai pimpinan, kasus itu baru terkuak. Semua bingung waktu itu, termasuk Koh Anming sendiri sebagai pemilik percetakan. Pada akhirnya semua dimulai lagi dari awal. Termasuk bagaimana sibuknya Pak Syamsul bolak-balik ke bank untuk mengantar Koh Anming. Tapi berkat peristiwa itu juga Pak Syamsul akhirnya diserahi jabatan yang sekarang ini beliau duduki. Aku sedikit terinspirasi dari kisah hidup Pak Syamsul. Kami-kami yang bertugas sebagai kurir baru sangat kagum dengan sosok beliau yang rendah hati dan grapyak dengan semua orang.

***
                Ningrum sudah lama bekerja sebagai tenaga pengajar di SD Jurang jero, meskipun ia ,masih berstatus sebagai guru honorer, tetapi semangatnya untuk menyalurkan ilmu sangat besar, dilihat dari kerelaannya untuk mengorbankan segala kepentingan untuk memberikan ilmu pada setiap anak-anak di daerah tersebut, dari mulai mengajar sebagai guru SD maupun menjadi guru les pada sore harinya. Semua hal itu yang membuat aku begitu menaruh hati pada perempuan itu, dan mengapa aku begitu betah dengan pekerjaan ini karena ada banyak jalan untukku bertemu dengan Ningrum walaupun hanya untuk urusan pekerjaan. Sepertinya nasib yang dirancang Tuhan bak gayung bersambut dengan apa yang telah terencana jauh di lubuk hatiku, semua seperti sudah ditulis serapi mungkin untuk sebuah dongeng yang pada kalimat akhir akan mengisahkan pangeran dan tuan putri hidup damai selamanya. Jodoh memang menjadi takdir Tuhan, tapi dengan siapa kita jatuh cinta itu adalah pilihan, tukang minyak kelapa kadang juga tercium wangi meski ia tak menjual minyak kasturi. Bisa jadi Tuhan menjodohkanku dengan Ningrum supaya ia bisa mengajariku yang memang tidak pandai matematika, atau supaya aku bisa mengajaknya berkeliling kota Jogja mengingat ia jarang sekali ada waktu untuk jalan-jalan meski hanya sekedar untuk menghilangkan penatnya sebagai pengajar. “Ah.. Cinta lebih sering membuat manusia pandai menulis kisah drama romansa, bahkan melebihi cerita cinta kapal Titanic tanpa ia harus karam dihantam gunung es pada cerita akhirnya, atau kisah Romeo dan Juliet dengan menghilangkan skenario bahwa mereka berdua harus meregang nyawa di akhir cerita.
                Siang itu sebelum pulang sesuai perintah Pak Syamsul aku segera mengantarkan LKS ke SD Jurang jero yang jaraknya tak jauh dari tempatku bekerja, pikirku heran, motor yang biasa aku pakai untuk berkeliling tiba-tiba jadi begitu ringan, kecepatannya pun tak seperti biasanya, mungkin ia tahu kalau tuannya ingin cepat-cepat sampai ke sekolahan, karena memang tujuanku ke SD Jurang jero tidak semata-mata memenuhi perintah atasan, sebenarnya yang jadi tujuanku sejak awal tak lain dan tak bukan adalah untuk bisa menemui Ningrum. Siang itu sebelum masuk waktu ashar aku sudah tiba di SD Jurang jero, dengan jaket kulit warna hitam pekat, sepekat keinginanku hari ini untuk bertemu Ningrum, aku mulai berjalan dari tempat parkir tamu menuju ruang guru yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku memarkirkan motor, sengaja motor kuletakkan di dekat pintu masuk agar  tak perlu berjalan terlalu jauh menuju ruang guru.
                Suasana lorong kelas begitu hangat, sepi sekali hanya terdengar suara sayup-sayup mesin kendaraan yang lalu lalang melintas di jalanan depan pagar sekolah.
 “Sore mas Ismo !!” sapa tukang kebun sembari mengayunkan sapu lidinya ke arah pengki.
“Sore juga pak, Bapak belum pulang ?, nggak biasanya jam segini masih di sekolah”.
“Belum mas, tadi pagi saya nganter istri saya rewang di tempat saudara, karena rumahnya lumayan jauh, jadi saya ijin sama Bu Kepsek kalau hari ini masuk siang, jadi biar jam kerjanya penuh saya pulangnya agak sore.”
                Kita memang sudah saling kenal karena beberapa kali aku datang ke sekolah ini untuk mengantarkan lembaran-lembaran LKS, dan di sini pun sudah menjadi langganan setiap ada terbitan LKS baru. Beberapa guru pun ada yang mengenalku sehingga ketika aku datang ke sekolah ini tidak ada lagi rasa canggung jika harus bertemu para pengajar, begitu juga Ningrum. “Ah.. Nama itu seperti sudah tertimbun begitu lama di hati ini seperti tanaman kacang yang bijinya sudah terbentuk sempurna namun masih ragu untuk dicabut takut kalau-kalau tidak berbuah baik.”
                Akhirnya langkah demi langkah mendekatkanku dengan pintu ruang guru yang disitu juga tempat senyum manis Ningrum berserakan di atas meja kerjanya di sudut ruangan tepatnya di bawah foto Bung Tomo dengan sorot matanya yang begitu gahar seolah berteriak lantang “merdeka atau mati” menohok pria kurus kering pengantar LKS yang berdiri dengan gagah yang seolah dibuat-buat demi tampil menawan untuk bertemu dengan putri yang disekap jam sekolah.
“Tumben jam segini baru dateng mas Ismo, biasanya sebelum dhuhur ??” Tiba-tiba Bu Kepsek memutus perdebatanku dengan Bung Tomo.
“Eh.. Iya Bu, nanti sekalian pulang, jadi kesini sore sekalian”.
O iya mas, LKS nya sampean taruh meja yang pojok itu saja mas, nanti nota penerimaan barangnya ada di mbak Ningrum”.
“Baik Bu” jawabku pelan.
                Jantungku tiba-tiba berdetak dengan irama yang tak jelas, ia seperti mau keluar dari balik baju dinas kerjaku. Dengan langkah tergopoh-gopoh lembaran-lembaran LKS ku letakkan di atas meja. Padahal tadi rasanya tak seberat ini, nafasku rasanya begitu pendek, tak sampai ke paru-paru hanya bolak-balik saja di ujung hidung.
“Eh, Mas Ismo”. Tiba-tiba sapaan Ningrum hampir membunuhku saat itu, ditambah senyum yang sangat sederhana yang tak bosan menikamku berkali-kali setiap kami bertemu.
“I..Iya Mbak Ningrum, ini mau ditaruh dimana ?” Tanyaku basa-basi.
“Di sini saja ngga apa-apa, mas Ismo duduk saja dulu”. Katanya sambil menunjuk kursi yang ada di depan mejanya.
                Ruangan ini rasanya lengang sekali, semua kesibukan orang-orang yang ada di dalamnya tiba-tiba hilang kecuali Ningrum dengan pulpen pilotnya yang sedang sibuk mengisi nota. Detakan jarum jam dinding seperti mengisi keheningan kami berdua, membentuk intonasi dengan detak jantung yang semakin mengiyakan perasaan untuk perempuan ini.
                Waktu semakin sore, matahari yang sedari tadi menyapu lantai-lantai beton halaman sekolahan kini berangsur berubah menguning menandakan waktu senja akan segera tiba juga dengan jam pelajaran sekolah yang sebentar lagi akan usai.
“Teeeettt.”
Bel sekolah sudah berbunyi, waktunya para siswa pulang ke rumah mereka masing-masing setelah menjalani jam pelajaran tambahan. Para orang tua yang dari tadi sudah menunggu di luar gerbang sekolah pun bersiap menyambut tawa-tawa renyah anak-anak mereka keluar kelas. Suasana sekolahan yang tadinya hening kini mulai ramai dengan langkah-langkah lari siswa-siswi di sepanjang lorong kelas-kelas mereka, tawa-tawa saling ejek khas anak kecil, sorak sorai mereka yang memecah keheningan sekolah menjadi suasana yang membuat sekolah ini begitu dicintai para penghuninya.
Urusanku sebagai pengantar LKS telah selesai bersamaan dengan para guru yang bersiap keluar ruangan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing tak terkecuali Ningrum dengan tas selempang warna hitamnya yang dari dulu memang tak pernah gonta-ganti model. Ciri wanita setia pikirku.
“Bu guru Ningrum mau pulang” tanyaku bercanda.
“Ah, mas Ismo bisa aja, iya mas, ini lagi mau beres-beres dulu sebentar.”
“Pulang ke rumah naik apa Bu ?” tanyaku penasaran.
“Biasa naik angkot mas, kebetulan angkot yang sering lewat depan sekolahan jalurnya ada yang ke arah rumah.”
 “Gimana kalau bareng saya aja bu ?, kebetulan juga rumah saya searah sama bu guru” aku mencoba memberanikan diri menawarkan tumpangan kepadanya berharap ia lebih memilih naik motorku daripada harus menunggu angkot di depan sekolahan.
“Ah, nanti mas Ismo repot lagi harus nganter saya ke rumah.”
“Eh, engga repot kok, saya udah biasa kalau cuma masalah antar-mengantar, hehe.”
“Bisa aja mas Ismo ini, ya udah nanti saya bareng mas Ismo aja kalau ngga ngrepotin.”
“Alhamdulillah” syukurku dalam hati akhirnya setelah sekian lama keinginanku pulang bersama dengan Ningrum hari ini terwujud.
                Akhirnya setelah semua selesai, kami dan para guru berjalan ke luar ruangan, kami semua saling berpencar, ada sebagian guru-guru perempuan yang menuju ke gerbang sekolahan karena sudah ditunggu suami mereka yang juga sudah dari tadi di depan gerbang, ada juga sebagian dari kami yang membawa kendaraan masing-masing berjalan beriringan menuju tempat parkir begitu juga dengan aku dan Ningrum. Sore tak pernah sehangat ini pikirku, entah memang cuaca akhir-akhir ini sedang cerah-cerahnya atau karena lantaran sore ini Ningrum akan pulang bersamaku ?. Ah, entahlah, semua hal memang kadang tiba-tiba berubah sesuai perasaan, terkadang sebuah urusan terasa begitu rumit ketika perasaan sedang tidak enak-enaknya, atau pun sebaliknya, jika hati ini sedang merasa bahagia, semua masalah yang kita alami tidak membuat kita terlalu banyak protes dengan apa saja yang diberikan Tuhan. Mungkin ada benarnya jika orang tua menyuruh kita untuk lebih banyak bersyukur ketimbang menghabiskan waktu hanya untuk mengeluhkan keadaan yang tidak sesuai keinginan. Semua akan berjalan sesuai koridor yang sudah Tuhan siapkan untuk masing-masing hamba-Nya, tinggal siapa yang melewati dan sebesar apa kesadaran mereka terhadap keadaan koridor mereka sendiri, apakah akan bersih dari lantai sampai langit-langitnya, atau yang hampir di setiap sudutnya di penuhi lumut dan sampah yang berserakan.
Satu-persatu motor para guru meninggalkan ruang parkir sekolahan, wajah-wajah senang yang mengerumuni ruang parkir membuat suasana begitu nyaman. Aku bersyukur karena lewat lembaran LKS yang kuantarkan, bisa sedikit membantu mereka membagikan ilmu kepada para siswa, juga ketika perasaan cinta kepada Ningrum sedikit terwujud seiring dengan motorku yang mulai melaju mengantarkan kami berdua pulang ke rumah.





sumber gambar : http://www.kaskus.co.id/thread/51d6815705346a7063000005/lukisan-abstrak-penuh-misteri/5