sumber gambar : wisnujadmika.files.wordpress.com
Aku
selalu menunggu masa-masa tertawa bersama pak Tom, terkadang kami berdua sampai
terbatuk-batuk tak kuasa menahan kebahagiaan yang meledak-ledak di dalam dada
kami. pak Tom memang pintar sekali membawa kebahagiaan di keluarga kami. Pernah
suatu ketika aku tak sengaja mematahkan cerutu kesayangan beliau ketika aku
membawa anak-anak seusiaku bermain di rumah. Beliau tak lantas marah dan
mengusir kami berlima. Beliau hanya menasehati kami untuk tidak bermain
perang-perangan di dalam rumah, meski dengan raut wajah yang berusaha menahan
amarah yang memang seharusnya pantas keluar, mengingat cerutu itu hadiah dari
kawannya dulu semasa masih bekerja sebagai buruh pabrik di Jepang. Akibat
peristiwa itu aku mulai menyukai pak Tom untuk menjadi bagian dari lingkungan
keluarga kami. Beliau seperti tak pernah kehabisan cara untuk membuat kami
sekeluarga terbatuk-batuk menahan tawa karena cerita maupun ulah lucu beliau
ketika sedang mengunjungi keluarga kami di akhir pekan. Ia sama sekali tak
keberatan jika harus bolak-balik Jogja-Semarang hanya untuk berbagi cerita
semasa ia muda dulu.
Kami
seperti keluarga baru baginya. Mungkin karena dulu pertemuannya dengan almarhum
bapak di Semarang. Waktu itu setelah pak Tom berhenti bekerja di Jepang, ia
lalu pulang ke Indonesia dengan tujuan untuk melamar seorang gadis yang sudah
lama dikenalnya semasa sekolah. Sebelum beliau berangkat ke Jepang gadis itu
sudah ia janjikan untuk dinikahi setelah dirasa punya dana cukup untuk
menikahinya juga untuk membangun kios buah yang nantinya akan mereka kelola
sendiri setelah menikah. Setibanya di Indonesia pak Tom akhirnya menunaikan
janjinya untuk menikahi gadis itu. Setelah menikah pun ia mulai membangun janjinya
yang lain yaitu untuk membangun sebuah kios buah di pusat kota Semarang tak
jauh dari rumah tempat mereka tinggal. Namun musibah menimpa pak Tom. Beliau
harus rela kehilangan kaki kirinya ketika dalam perjalanannya ke pusat kota
Semarang untuk melihat-lihat lokasi yang akan ia jadikan kios, pak Tom menjadi
korban tabrak lari sopir angkot yang melaju kencang karena dikejar polantas
akibat menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah. Akhirnya uang yang ia
kumpulkan untuk kios tersebut ia gunakan untuk biaya operasi. Akibat peristiwa
itu rencana pak Tom gagal, ia kehabisan uang. Istri yang begitu dicintainya tak
memiliki perasaan yang sama. Ia lelah setelah setahun merawat lelaki pincang
yang ia anggap ingkar dengan janji indah mereka untuk punya kios bersama.
Akhirnya dalam keadaan kehilangan bagian tubuhnya, pak Tom juga harus
kehilangan separuh hatinya setelah diceraikan sang istri. Bapak yang mengetahui
kondisi pak Tom akhirnya membawanya ke rumah untuk dirawat sewaktu bapak masih
tinggal di Semarang.
Akhirnya
pak Tom memiliki semangat baru untuk melanjutkan janjinya. Kali ini bukan untuk
istrinya, melainkan janji untuk dirinya sendiri. Berbekal keterampilannya
memperbaiki radio, ia lalu membuka kios kecil dengan modal dari bapak. Kios pak
Tom ramai dikunjungi banyak pelanggan yang ingin diperbaiki radionya. Pak Tom
memang pandai dalam menjalin hubungan dengan setiap orang yang baru saja ia
kenal. Karena itu kiosnya terhitung cepat berkembang, dalam setahun akhirnya
pak Tom punya cukup uang untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya dari bapak.
Hubungan
keluarga kami dengan pak Tom memang sangat dekat. Beliau terkadang membantu
bersih-bersih di rumah kami tanpa harus disuruh. Beliau merasa berhutang budi
dengan bapak. Beliau terkadang ke rumah kami untuk memperbaiki radio yang tak
lagi berfungsi dengan baik, ia tak pernah mau dibayar untuk itu. Baginya
membantu keluarga kami adalah sebuah kewajiban yang tak akan ia tinggalkan.
Meskipun setelah kami sekeluarga pindah ke Jogja, selama akhir pekan beliau
selalu mengunjungi rumah kami. Terkadang beliau membawa beberapa oleh-oleh khas
Semarang untuk kami. Terkadang tak membawa apa-apa jika kiosnya sepi. Bagiku
tak penting pak Tom membawa oleh-oleh atau tidak. Aku hanya menunggu saat-saat
ketika beliau bercerita banyak hal. Kadang ia selipkan bahasa Jepang yang
sampai saat ini pun belum aku mengerti maksudnya. Aku selalu melihat sosok pak
Tom sebagai orang yang pandai karena bahasa Jepangnya yang aduhai lancarnya.
Aku seperti sedang menonton serial kesatria baja hitam ketika mendengar pak Tom
sedang bercerita dengan bahasa Jepang.
Terkadang
kawan-kawanku aku ajak ke rumah untuk mendengar cerita pak Tom. Mereka mengaku
senang dengan pribadi pak Tom yang memang sejak dari dulu suka dengan
anak-anak. Meskipun untuk mengatur kami butuh kesabaran yang luar biasa, tapi
bagi pak Tom tidak demikian, karena cerita pak Tom bagaikan mesin yang secara
otomatis menghentikan kegaduhan kami ketika di rumah. Kami semua memang suka
dengan cerita pak Tom. Kami takzim memperhatikan pak Tom bercerita pengalaman
waktu ia kesulitan membeli sabun mandi di Jepang karena baru beberapa hari
pindah ke sana. Atau ketika ia bingung menunjukkan stadion International
Yokohama kepada turis asing karena ia juga belum lancar berbahasa Inggris. Ah,
bahagia nian akhir pekan kami jika pak Tom datang ke rumah. Ia seperti guru les
kami di hari libur. Dari beliau kami banyak belajar bahwa dalam kondisi apapun
kita harus terus berjuang. “Tuhan pasti punya alasan kenapa kita harus melewati
sebuah kesulitan dulu untuk memperoleh kamudahan setelahnya”. Kalimat itu yang
membuat kami yakin akan pertolongan Tuhan, seyakin lelaki tua berkaki satu yang
ada di depan kami. Pelajaran yang banyak kami ambil dari pak Tom bahwa sempurna
itu tak harus mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tak harus mempunyai harta
yang selalu tersedia kapanpun kita mau. Pak Tom adalah sosok sempurna di mata
kami. Lelaki yang hidup dengan satu kaki, lelaki yang dipenggal separuh hatinya
karena dilanda kemiskinan, lelaki yang dengan terpincang-pincang membangun
kehidupannya sendiri di pusat kota Semarang. Lelaki yang membuat kami berfikir,
tanpanya akhir pekan kami tak sehangat biasanya.
...
Namaku
Liliana, usiaku kini 24 tahun. Kawanku Ayu, Retna, Rudi dan Wahyu. Kami berlima
kini sudah sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Seperti Ayu yang kini
sibuk mengurus butiknya di Pekalongan dan Rudi yang beberapa tahun yang lalu
karena sebuah proyek perusahaan membuatnya harus dikirim ke Jakarta. Sedangkan
aku kini tercatat sebagai salah satu mahasiswa semester akhir di salah satu
perguruan negeri ternama di Yogyakarta. Kami tak punya banyak waktu luang untuk
berkumpul seperti ketika usia kami masih anak-anak. Dulu sepulang sekolah kami
selalu berkumpul dan menghabiskan waktu di rumahku. Baik untuk mengerjakan
tugas dari sekolah atau hanya untuk bermain perang-perangan untuk menghilangkan
penat karena aktivitas di sekolah. Ah, bukankah terdengar berat bagi anak-anak
seusia kami sudah merasakan penat disebabkan banyaknya aktivitas. Bukankah usia
seperti itu harusnya kami habiskan untuk bermain dan bermain tanpa harus
memikirkan bagaimana cara menghitung rumus segitiga sama kaki atau soal-soal
yang membuat kami harus berjam-jam duduk di kursi kayu yang akan mengeluarkan
bunyi berdecit jika orang yang duduk di atasnya bergerak sedikit saja.
Kami
berlima mengenal pak Tom dengan sangat baik. Beliau juga yang kadang mengajar
kami di rumah. Riwayat beliau yang pernah bekerja di Jepang membuat kami saat
itu tak pernah sedikitpun meragukan kepandaian pak Tom. Ya meskipun bagi kami
dulu pak Tom lebih sering terlihat bodoh jika sedang bercerita di depan kami.
Tapi itu tak membuat kami berfikir bahwa pak Tom tak punya kemampuan untuk
mengajar kami di rumah. Justru kami berfikir sebaliknya. Bagaimana cara pak Tom
menertawakan diri sendiri itu yang masih sulit kami lakukan sampai saat ini.
Setinggi apapun gelar dan jabatan kami sekarang, kami masih belum bisa menjadi
orang seperti sosok pak Tom yang hanya seorang lulusan SMK. Banyak yang pak Tom
ajarkan dan masih kami ingat sampai sekarang. “Senang sekali rasanya jika
tindakan bodoh kita bisa bermanfaat bagi orang banyak”, itu yang pernah beliau
katakan kepada kami. Menurut pak Tom manusia akan banyak belajar dari hal-hal
bodoh yang mereka temukan dari orang lain. Kami selalu merindukan sosok pak
Tom. Karena beliau juga kami masih menjaga komunikasi hingga sekarang. Sesibuk
apapun kami, setidaknya kami masih mempunyai rasa rindu yang sama, rindu kepada
sosok pak Tom, lelaki tua berkaki satu yang selalu kami rindukan banyak
ceritanya di akhir pekan. Kini, di sela-sela kesibukan kami sebagai orang
dewasa, kami selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul di rumahku setiap akhir
pekan,dan menceritakan banyak hal yang kami lalui kepada pak Tom, di pusara
beliau.