Minggu, 01 Januari 2017

Akhir Pekan Pak Tom


sumber gambar : wisnujadmika.files.wordpress.com


Aku selalu menunggu masa-masa tertawa bersama pak Tom, terkadang kami berdua sampai terbatuk-batuk tak kuasa menahan kebahagiaan yang meledak-ledak di dalam dada kami. pak Tom memang pintar sekali membawa kebahagiaan di keluarga kami. Pernah suatu ketika aku tak sengaja mematahkan cerutu kesayangan beliau ketika aku membawa anak-anak seusiaku bermain di rumah. Beliau tak lantas marah dan mengusir kami berlima. Beliau hanya menasehati kami untuk tidak bermain perang-perangan di dalam rumah, meski dengan raut wajah yang berusaha menahan amarah yang memang seharusnya pantas keluar, mengingat cerutu itu hadiah dari kawannya dulu semasa masih bekerja sebagai buruh pabrik di Jepang. Akibat peristiwa itu aku mulai menyukai pak Tom untuk menjadi bagian dari lingkungan keluarga kami. Beliau seperti tak pernah kehabisan cara untuk membuat kami sekeluarga terbatuk-batuk menahan tawa karena cerita maupun ulah lucu beliau ketika sedang mengunjungi keluarga kami di akhir pekan. Ia sama sekali tak keberatan jika harus bolak-balik Jogja-Semarang hanya untuk berbagi cerita semasa ia muda dulu.
Kami seperti keluarga baru baginya. Mungkin karena dulu pertemuannya dengan almarhum bapak di Semarang. Waktu itu setelah pak Tom berhenti bekerja di Jepang, ia lalu pulang ke Indonesia dengan tujuan untuk melamar seorang gadis yang sudah lama dikenalnya semasa sekolah. Sebelum beliau berangkat ke Jepang gadis itu sudah ia janjikan untuk dinikahi setelah dirasa punya dana cukup untuk menikahinya juga untuk membangun kios buah yang nantinya akan mereka kelola sendiri setelah menikah. Setibanya di Indonesia pak Tom akhirnya menunaikan janjinya untuk menikahi gadis itu. Setelah menikah pun ia mulai membangun janjinya yang lain yaitu untuk membangun sebuah kios buah di pusat kota Semarang tak jauh dari rumah tempat mereka tinggal. Namun musibah menimpa pak Tom. Beliau harus rela kehilangan kaki kirinya ketika dalam perjalanannya ke pusat kota Semarang untuk melihat-lihat lokasi yang akan ia jadikan kios, pak Tom menjadi korban tabrak lari sopir angkot yang melaju kencang karena dikejar polantas akibat menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah. Akhirnya uang yang ia kumpulkan untuk kios tersebut ia gunakan untuk biaya operasi. Akibat peristiwa itu rencana pak Tom gagal, ia kehabisan uang. Istri yang begitu dicintainya tak memiliki perasaan yang sama. Ia lelah setelah setahun merawat lelaki pincang yang ia anggap ingkar dengan janji indah mereka untuk punya kios bersama. Akhirnya dalam keadaan kehilangan bagian tubuhnya, pak Tom juga harus kehilangan separuh hatinya setelah diceraikan sang istri. Bapak yang mengetahui kondisi pak Tom akhirnya membawanya ke rumah untuk dirawat sewaktu bapak masih tinggal di Semarang.
Akhirnya pak Tom memiliki semangat baru untuk melanjutkan janjinya. Kali ini bukan untuk istrinya, melainkan janji untuk dirinya sendiri. Berbekal keterampilannya memperbaiki radio, ia lalu membuka kios kecil dengan modal dari bapak. Kios pak Tom ramai dikunjungi banyak pelanggan yang ingin diperbaiki radionya. Pak Tom memang pandai dalam menjalin hubungan dengan setiap orang yang baru saja ia kenal. Karena itu kiosnya terhitung cepat berkembang, dalam setahun akhirnya pak Tom punya cukup uang untuk mengembalikan modal yang dipinjamnya dari bapak.
Hubungan keluarga kami dengan pak Tom memang sangat dekat. Beliau terkadang membantu bersih-bersih di rumah kami tanpa harus disuruh. Beliau merasa berhutang budi dengan bapak. Beliau terkadang ke rumah kami untuk memperbaiki radio yang tak lagi berfungsi dengan baik, ia tak pernah mau dibayar untuk itu. Baginya membantu keluarga kami adalah sebuah kewajiban yang tak akan ia tinggalkan. Meskipun setelah kami sekeluarga pindah ke Jogja, selama akhir pekan beliau selalu mengunjungi rumah kami. Terkadang beliau membawa beberapa oleh-oleh khas Semarang untuk kami. Terkadang tak membawa apa-apa jika kiosnya sepi. Bagiku tak penting pak Tom membawa oleh-oleh atau tidak. Aku hanya menunggu saat-saat ketika beliau bercerita banyak hal. Kadang ia selipkan bahasa Jepang yang sampai saat ini pun belum aku mengerti maksudnya. Aku selalu melihat sosok pak Tom sebagai orang yang pandai karena bahasa Jepangnya yang aduhai lancarnya. Aku seperti sedang menonton serial kesatria baja hitam ketika mendengar pak Tom sedang bercerita dengan bahasa Jepang.
Terkadang kawan-kawanku aku ajak ke rumah untuk mendengar cerita pak Tom. Mereka mengaku senang dengan pribadi pak Tom yang memang sejak dari dulu suka dengan anak-anak. Meskipun untuk mengatur kami butuh kesabaran yang luar biasa, tapi bagi pak Tom tidak demikian, karena cerita pak Tom bagaikan mesin yang secara otomatis menghentikan kegaduhan kami ketika di rumah. Kami semua memang suka dengan cerita pak Tom. Kami takzim memperhatikan pak Tom bercerita pengalaman waktu ia kesulitan membeli sabun mandi di Jepang karena baru beberapa hari pindah ke sana. Atau ketika ia bingung menunjukkan stadion International Yokohama kepada turis asing karena ia juga belum lancar berbahasa Inggris. Ah, bahagia nian akhir pekan kami jika pak Tom datang ke rumah. Ia seperti guru les kami di hari libur. Dari beliau kami banyak belajar bahwa dalam kondisi apapun kita harus terus berjuang. “Tuhan pasti punya alasan kenapa kita harus melewati sebuah kesulitan dulu untuk memperoleh kamudahan setelahnya”. Kalimat itu yang membuat kami yakin akan pertolongan Tuhan, seyakin lelaki tua berkaki satu yang ada di depan kami. Pelajaran yang banyak kami ambil dari pak Tom bahwa sempurna itu tak harus mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tak harus mempunyai harta yang selalu tersedia kapanpun kita mau. Pak Tom adalah sosok sempurna di mata kami. Lelaki yang hidup dengan satu kaki, lelaki yang dipenggal separuh hatinya karena dilanda kemiskinan, lelaki yang dengan terpincang-pincang membangun kehidupannya sendiri di pusat kota Semarang. Lelaki yang membuat kami berfikir, tanpanya akhir pekan kami tak sehangat biasanya.
...
Namaku Liliana, usiaku kini 24 tahun. Kawanku Ayu, Retna, Rudi dan Wahyu. Kami berlima kini sudah sibuk dengan kegiatan kami masing-masing. Seperti Ayu yang kini sibuk mengurus butiknya di Pekalongan dan Rudi yang beberapa tahun yang lalu karena sebuah proyek perusahaan membuatnya harus dikirim ke Jakarta. Sedangkan aku kini tercatat sebagai salah satu mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan negeri ternama di Yogyakarta. Kami tak punya banyak waktu luang untuk berkumpul seperti ketika usia kami masih anak-anak. Dulu sepulang sekolah kami selalu berkumpul dan menghabiskan waktu di rumahku. Baik untuk mengerjakan tugas dari sekolah atau hanya untuk bermain perang-perangan untuk menghilangkan penat karena aktivitas di sekolah. Ah, bukankah terdengar berat bagi anak-anak seusia kami sudah merasakan penat disebabkan banyaknya aktivitas. Bukankah usia seperti itu harusnya kami habiskan untuk bermain dan bermain tanpa harus memikirkan bagaimana cara menghitung rumus segitiga sama kaki atau soal-soal yang membuat kami harus berjam-jam duduk di kursi kayu yang akan mengeluarkan bunyi berdecit jika orang yang duduk di atasnya bergerak sedikit saja.
Kami berlima mengenal pak Tom dengan sangat baik. Beliau juga yang kadang mengajar kami di rumah. Riwayat beliau yang pernah bekerja di Jepang membuat kami saat itu tak pernah sedikitpun meragukan kepandaian pak Tom. Ya meskipun bagi kami dulu pak Tom lebih sering terlihat bodoh jika sedang bercerita di depan kami. Tapi itu tak membuat kami berfikir bahwa pak Tom tak punya kemampuan untuk mengajar kami di rumah. Justru kami berfikir sebaliknya. Bagaimana cara pak Tom menertawakan diri sendiri itu yang masih sulit kami lakukan sampai saat ini. Setinggi apapun gelar dan jabatan kami sekarang, kami masih belum bisa menjadi orang seperti sosok pak Tom yang hanya seorang lulusan SMK. Banyak yang pak Tom ajarkan dan masih kami ingat sampai sekarang. “Senang sekali rasanya jika tindakan bodoh kita bisa bermanfaat bagi orang banyak”, itu yang pernah beliau katakan kepada kami. Menurut pak Tom manusia akan banyak belajar dari hal-hal bodoh yang mereka temukan dari orang lain. Kami selalu merindukan sosok pak Tom. Karena beliau juga kami masih menjaga komunikasi hingga sekarang. Sesibuk apapun kami, setidaknya kami masih mempunyai rasa rindu yang sama, rindu kepada sosok pak Tom, lelaki tua berkaki satu yang selalu kami rindukan banyak ceritanya di akhir pekan. Kini, di sela-sela kesibukan kami sebagai orang dewasa, kami selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul di rumahku setiap akhir pekan,dan menceritakan banyak hal yang kami lalui kepada pak Tom, di pusara beliau.