Senin, 25 April 2016

MURSINAH

Akhirnya setelah berhari-hari lelah menjadi penjual lauk pauk, Mursinah harus menyerah dihantam harga berbagai kebutuhan pokok yang meroket naik. Seakan hidup tak mampu dibayar oleh orang-orang kurang mampu seperti mereka, bahkan untuk dicicil sekalipun. Cuma Pak Warto juragan kambing yang sering protes di depan televisinya sendiri macam orasi mahasiswa UI di depan istana negara ketika ada kebijakan dari pemerintah yang dirasa merugikan juragan kambing seperti dia, atau ketika bapak-bapak yang sedang siskamling saling menyanggah pendapat masing-masing dengan gaya seperti mereka yang bergelar sarjana.
Untuk orang-orang seperti Mursinah yang tak ada TV di rumah, keputusan apa pun dari pemerintah ya dirasakan saja, toh ia tak seperti Pak Warto yang bisa seharian berorasi di depan TV-nya yang selebar papan karambol hasil patungan para remaja tanggung penghuni pos kamling. Ia tak mau ambil pusing dengan masalah para penggedhe di Jakarta sana. Lagi pula jadi orang yang ngurusi politik itu bikin pusing, demo sana-sini, sering ngasih sumbangan ke pedagang kembang di pasar, tapi Mursinah yang bertahun-tahun menjadi penghuni pasar depan pintu masuk pula tak pernah ketemu orang-orang yang seperti ia lihat di TV. Malah preman-preman berwajah garang bak rambo yang sedang membombardir musuh dengan wajah loreng yang habis diolesi oli bekas dari bengkel Koh Acong.
Mursinah kenal betul dengan film rambo ketika dia dulu waktu masih kecil diajak bapaknya nyadran di makam eyang. Waktu itu mereka nginep dulu di rumah Pakde Sar yang memang terbilang orang berhasil di antara saudara-saudara mereka. Di situlah Mursinah kenal dengan rambo, mereka dipertemukan lewat TV Pakde Sar yang seukuran papan karambol persis punya pak Warto juragan kambing. Yang jelas menurut Mursinah preman-preman di pasar itu tidak seganteng rambo yang diperankan.
“Silvester siapa itu?” katanya. Ia lupa jika harus mengingat nama-nama orang barat yang memang susah jika harus diucapkan lidah ndeso macam dia.
“Lah wong tiap hari cuma makan kimpul sama nyirih kok suruh ngomong enggres,” katanya.
Mursinah harus pintar-pintar putar otak melihat kondisi dagangannya yang sudah bisa dibilang hampir musnah digusur peradaban. Sepertinya kebutuhan pokok sudah menjadi musuh dalam selimut bagi kehidupan para pedagang pasar. Dulu mereka masih bisa hidup hanya dengan satu jenis usaha saja, seperti Mursinah yang jualan lauk-pauk, ataupun Bu Ningrum yang cuma jaga warung sambil sesekali membicarakan setiap tetangga yang baru beli Avanza atau Ertiga dari hasil panen cabe keriting ketika harganya lagi sering-seringnya di puncak klasemen.
Ya, puncak klasemen macam Bayern Muenchen yang tak mau turun-turun kalau sudah nongkrong di atas daftar klasemen, sombong betul mereka itu kata para bujang lapuk poskamling yang kebanyakan dari mereka pendukung Dortmund. Bagi mereka setiap hari adalah malam minggu. Karena sebagian besar dari mereka merupakan aktivis yang berperan dalam menjaga kestabilan pengangguran di Indonesia agar selalu masuk dalam nominasi 10 besar negara dengan tingkat pengangguran terbanyak. Bapak presiden mungkin harus banyak berterima kasih kepada boy band “The bujang Lapuk,” kami yang ikut berperan serta menjaga nama bangsa ini agar tetap dikenal setidaknya untuk wilayah Asia tenggara.
“Merdeka.. merdeka.. merdeka..,” batin mereka seperti punya kebanggaan sendiri dengan gelar bujak lapuk tuna karya penunggu poskamling suporter sejati Borussia Dortmund padahal nama 11 pemainnya pun tak hafal semua.
“Mursinah.. Mursinah,” apa ia harus jadi seperti para bujang lapuk itu yang tak perlu pusing-pusing memikirkan harga cabe dan bawang yang naik setinggi roket Neil Amstrong, “Neil Amstrong? ealah sopo meneh kuwi?”
Apakah ada alasan lain yang harus membuat ia meninggalkan pekerjaannya selain harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi? Sepertinya tidak terlalu jauh dengan masalah yang pada umumnya dialami pedagang di pasar tempatnya berjualan. Preman, ya preman yang tadi ia bilang bak rambo kulit burik, sering minta upeti seperti prajurit majapahit dalam kisah Angling Dharma atau apalah itu. Mereka yang berotot besar akan dengan sangat mudah jika hanya meminta jatah harian kepada para pedagang yang sebagian besar adalah para lansia dengan usia yang bisa saja tewas menggelepar dengan satu kali sabetan seikat batang kangkung. Preman-preman itu sebenarnya hanya seperti sekumpulan bedug yang kosong isi kepalanya, namun orang di belakang merekalah yang berperan sebagai koordinator orang-orang berbadan rambo itu.
Pernah sekali ia melihat pria berpakaian rapi kemeja merah jambu dengan kacamata ala agen 007 James Bond dengan perutnya yang buncit seperti mau tumpah ke luar dari kemeja merah jambunya itu, kalau dilihat-lihat orang itu malah lebih mirip maaf, babi buncit merah muda yang sering Mursinah lihat sebagai peliharaan orang-orang barat yang akhir hidupnya berada di box freezer tempat orang londo membeli daging yang masih segar. Mungkin para penghuni pasar berharap orang itu berakhir di box freezer juga jika mengingat kelakuannya yang menjadi otak di balik pemerasan berkepanjangan yang mereka bilang sebagai layanan keamanan pasar.
Ke manakah security pasar yang secara resmi ditugaskan pemerintah kota? Mereka ada, ya, masih ada di pasar itu, tapi lihat saja mereka semua berusia hampir sama dengan para pedagang pasar, atau jangan-jangan pasar ini semuanya berisikan teman-teman seperjuangan waktu zaman penjajahan Belanda dulu yang berkoalisi membangun sebuah benteng pertahanan yang berbentuk pasar atau kelompok politisi Belanda yang membangun gudang jual beli senjata laras panjang sampai meriam ukuran besar yang tak perlu pakai karbit untuk melontarkan ledakan? atau malah dulu di pasar ini menjadi asal-muasal adanya rambo? entahlah.
Para pelaku sejarah di pasar itu pun tidak ingat betul bagaimana sejarah pasar itu dibangun. Sudahlah, mereka terlalu tua untuk mengingat bagaimana pasar itu sampai bisa berdiri di situ, untuk mengingat sarapan mereka tadi pagi pun terkadang harus bertanya dulu kepada anak mereka di rumah, jikalau mereka bisa ingat mungkin ketika sarapan mereka dengan semur jengkol atau pete yang baunya masih terdeteksi sampai sarapan di hari berikutnya. Yang bisa sedikit mereka ingat ketika waktu Belanda masih mengkudeta kampung mereka yaitu ketika sedang duduk di sekolah non formal yang waktu itu didirikan oleh warga sendiri yang kesehariannya tak perlu memakai seragam sekolah seperti sekarang.
Hanya perlu pakai sandal jepit dan baju seadanya untuk berangkat sekolah karena untuk anak-anak dari kalangan seperti mereka tidak boleh mengenyam pendidikan di sekolah formal, setidaknya itu yang sering diceritakan para sesepuh pasar ketika mereka sedang saling mendongeng sesama alumni pekerja paksa mungkin. Sepertinya kondisi seperti itu pada akhirnya akan menjadi pemakluman masyarakat seperti Mursinah dan para penghuni pasar lainnya. Sejauh ini upaya melawan dari para pedagang hanya dengan berusaha mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tarif pajak untuk para preman, setidaknya dengan itu mereka masih bisa menghidupi keluarganya sampai sekarang.
Mungkin untuk Mursinah, bagaimanapun juga cerita hidupnya tak boleh hanya bercerita di sekitaran ikan teri atau pun baceman tahu tempe yang biasa dijualnya. Paling tidak kebutuhan keluarganya harus ia penuhi sendiri karena tuntutan hidup tak bisa ditutupi hanya dengan keranjang yang sampai senja habis tak pernah dibawa kosong ketika pulang ke rumah. Karena menurutnya, jalan untuk memenuhi kebutuhan tidak mungkin jika tanpa proses terlebih dahulu, entah itu panjang atau pendek. Keledai saja tak bisa ujug-ujug dibilang dungu tanpa adanya hal bodoh yang ia lakukan sebelumnya. Setidaknya itu yang pernah rambo bilang kepadanya.