Sabtu, 19 September 2015

Do'a rintihan Rasulullah ketika di thaif


SETIAP kali melihat setangkai anggur, pikiranku melayang kepada kejadian 15 abad yang lalu. Ketika Rasulullah mencoba menawarkan Islam kepada penduduk Thaif, karena kaum Quraisy sudah betul-betul menolak dakwah beliau, hampir tidak ada harapan lagi mereka akan mau beriman.

Namun apa dikata, ternyata penerimaan penduduk Thaif tidak kalah jahatnya dibandingkan penerimaan penduduk Makkah. Mereka mengumpulkan anak-anak dan orang-orang bodoh (safih), kemudian mereka hasut untuk melempari Rasulullah yang ditemani oleh Zaid bin Haritsah. Saat itu tubuh Rasulullah sampai berlumuran darah.

Kawan, berhentilah sejenak membaca ini. Coba bayangkan dan resapi, bagaimana kira-kira bila ayahmu dilempari oleh orang banyak sampai berlumuran darah. Padahal waktu itu beliau lagi mengantarkan kebaikan buat orang yang melemparinya itu. Sekarang yang dilempari adalah orang yang lebih kamu cintai dari ayahmu sendiri.

Di tengah-tengah kejaran penduduk Thaif itu Rasulullah menyingkir ke sebuah kebun anggur milik 'Utbah bin Rabi'ah dan Syaibah bin Rabi'ah, dua orang pemuka Thaif. Dengan kaki berlumuran darah, beliau berteduh di bawah pohon anggur sambil melantunkan do'a yang sangat memilukan ini:

"Ya Allah, kepada-Mu aku mengeluhkan kelemahan-kelemahanku, ketidak berdayaanku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi! Engkau Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau hendak menyerahkan diriku? Kepada orang-orang asing yang bermuka masam terhadapku atau kepada musuh yang Engkau takdirkan akan mengalahkanku? "

"Ya Allah, kepadamu aku mengadu kelemahanku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku pada pandangan manusia. Ya! Arhamarrahimin! Engkaulah Tuhan orang yang ditindas. Engkaulah Tuhanku. Kepada siapalah Engkau menyerahkan diriku ini, kepada orang asing yang akan menyerang aku atau kepada musuh yang menguasai diriku?

Sekiranya Engkau tidak murka kepadaku maka aku tidak peduli. Namun, afiat-Mu sudah cukup buatku. Aku berlinding dengan nur wajah-Mu yang menerangi segala kegelapan dan teratur di atas nur itu urusan dunia dan akhirat, dari pada Engkau menurunkan kemarahan-Mu kepadaku atau Engkau murka kepadaku. Kepada-Mulah aku tetap merayu sehingga Engkau redha. Tiada sebarang daya (untuk melakukan Kebaikan) dan tiada upaya (untuk meniggalkan kejahatan) kecuali denganMu".

Melihat kondisi Rasulullah seperti itu, 'Utbah dan Syaibah merasa kasihan. Mereka menyuruh budaknya yang bernama 'Addasuntuk mengantarkan setangkai anggur kepada Rasulullah.

Setelah duduk di depan Rasulullah, 'Addas menyerahkan anggur itu kepada beliau. Sebelum memakannya Rasulullah terlebih dahulu membaca basmallah. Mendengar itu 'Addas berkata: "Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh penduduk kampung ini". Lalu Rasulullah bertanya: "Dari mana asalmu? Apa agamamu?" 'Addas menjawab: "Dari Ninawa. Agamaku Nashrani." Rasulullah menimpali lagi: Dari kampung laki-laki shaleh Yunus bin Matta?

Mendengar itu 'Addas menjadi keheranan dan balik bertanya: "Apakah anda mengenal Yunus bin Matta?" Nabi menjawab: "Dia adalah saudaraku, beliau seorang nabi dan aku adalah nabi". Mendengar itu 'Addas menciumi kepala, tangan dan kaki Rasulullah. Dia pun masuk Islam.

Setelah itu Rasulullah memutuskan untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang beliau ditemui oleh malaikat gunung guna menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif dan Makkah yang sudah mengusir beliau, dengan cara saling membenturkan gunung yang ada di tanah Arab itu.

Mendengar itu Rasulullah berkata: "Jangan lakukan itu, aku berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka anak keturunan yang menyembah Allah dan tidak meperserikatkan-Nya dengan sesuatu pun".

Maha Benar Allah yang telah berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

"Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung". (Al Qalam: 4)

(Zulfi Akmal)

Sumber: 
http://www.pkspiyungan.org/2014/10/saat-tubuh-rasulullah-berlumuran-darah.html?m=1

Minggu, 06 September 2015

TERPAL ORANYE

TERPAL ORANYE

Ia selalu tidak setuju mengapa hujan dengan leluasa meminta beberapa ingatan yang sudah ia anggap kering seperti sengaja lagi diguyur  dalam kesakitan. Padahal untuk melupakan saja ia tak lebih suci  dari para pemabuk di bar-bar pinggiran kota Savona yang hanya menghabiskan jam pulang kantornya untuk menenggak bergelas-gelas air haram itu setelah jam-jam penat di kantor. Pioggia heran mengapa hujan lebih sering datang daripada kunjungan para nelayan di kota itu. Padahal ikan yang mereka bawa seperti sudah menjadi olahan pokok untuk rumah makan yang menyajikan berbagai hidangan laut
Ia yang berasal dari pinggiran kota Savona yang kesehariannya sebagai penjual pernak-pernik dan kerajinan tangan yang didapat dari para pengrajin di utara kota.
Kini hujan sering datang, lapaknya yang biasanya ramai oleh pembeli atau pejalan kaki yang sekedar lewat  kini lebih sering lengang. Mungkin mereka lebih memilih tinggal di rumah daripada harus bepergian keluar untuk sekedar jalan-jalan. Padahal ayahnya sudah lama menyarankan untuk dia segera mencari lelaki untuk dijadikan suami supaya ia tak perlu lagi repot bepindah-pindah jualan di setiap trotoar kota. Tapi bagi Pioggia, yang ia rindukan kini bukanlah pelukan seorang lelaki, ia begitu merindukan teras-teras toko yang bersih sebelum musim hujan tiba, kaki-kaki yang ramah mengerumuni terpal oranye yang selau ia gunakan sebagai alas ketika ia berjualan.
“Sudah lama disini ?” Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba menghentikan lamunan Pioggia.
“Eh, iya bi sudah sejak pagi, jadi bagaimana kabar paman ?”.
“Entahlah, mungkin dia masih sibuk akhir-akhir ini, maklum lah musim panen, biasanya harus terlambat 3 hari baru surat dari pamanmu sampai kesini”.
Bibi Loria sudah sejak setahun belakangan ini tinggal sendiri di rumah, suaminya yang kini merantau ke Vicenza sebagai buruh kelapa sawit hanya sesekali mengirimkan surat sebagai pengganti kehadirannya di rumah.  Belum lagi jika musim panen seperti ini, ia kadang terlambat mengirimkan surat kepada bibi karena waktunya sering habis digunakan untuk mengangkut hasil-hasil panen. Terkadang ia pun harus mau diminta untuk lembur karena proses panen yang membutuhkan waktu cukup lama .
Pekerjaannya yang tidak tentu membuat ia jarang sekali bisa pulang ke rumah walau hanya untuk satu atau dua hari saja. Karena selain menjadi buruh sawit ia juga kerja sambilan membuka kedai kecil-kecilan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan juga harus ada uang lebih untuk dikirimkan ke bibi Loria di rumah. Bagaimanapun juga hidup di kota industri semacam Vicenza butuh biaya yang cukup banyak. Terlebih lagi kalau ia atau bibi Loria harus jatuh sakit, pasti harus mengeluarkan biaya tambahan untuk berobat. Maklum saja pabrik tempat ia bekerja hanya menyediakan pengobatan di klinik-klinik kecil untuk sekedar cek up atau membeli obat-obatan seperlunya, tidak dengan pengobatan penyakit serius.
Sudah hampir setengah abad usia pernikahan mereka ketika pertemuan keduanya berawal di tempat pelelangan ikan pesisir pantai Varigotti. Masa remaja paman yang dihabiskan di pantai untuk mencari dan berjualan ikan hasil tangkapan ternyata tidak menyulitkan pertemuan keduanya. Bibi Loria yang dulunya juga penjual ikan sebagai pengepul di pasar kota. Pada awalnya mereka bersaing untuk menjual hasil laut para nelayan di pantai itu, namun pada akhirnya waktu yang membuat keduanya mulai bersaing untuk menjaga hati masing-masing.
“Mau sampai kapan betah disana bi ?” Tanya Pioggia.
“Belum tau, pamanmu jarang membicarakan itu dengan bibi, mungkin jika pabrik sudah mulai membatasi usia para pekerja mereka baru pamanmu mau berhenti dan pulang ke rumah”
Selalu berat menanyakan hal itu pada bibi Loria, usia yang sudah terlalu bosan menelan wajah tenangnya buat-bulat, mungkin sudah tak tega lagi menambahkan masalah di tiap kening yang hampir rapi tertutup uban. Ditambah kerinduan yang begitu tergambar jelas pada mata perempuan itu.
“Sudahlah, biar pamanmu mencari kebahagiaannya dulu di Vicenza, bibi tak mau mengingatkan ia terlalu sering, takut jika harus merasakan kerinduan yang sama dengan bibi sekarang, bisa malah jatuh sakit nantinya karena terlalu memikirkan banyak hal”.
Bibi masih sesekali berusaha menghibur diri untuk meredam rasa kekhawatiran yang sebenarnya jelas terlihat dari cara ia berbicara atau tiba-tiba matanya yang berubah layu ketika membicarakan paman.
“Oh iya bi, hari ini bibi bawa apa untuk makan siang ?” Tanya Poggia mencairkan suasana.
“Masih ada roti kacang sisa bibi semalam. Sepertinya masih enak sampai makan siang nanti”.
Keduanya begitu dekat hampir seperti anak dan ibu kandung, mungkin karena keduanya mempunyai rasa kehilangan yang hampir sama, apalagi setelah ibu Pioggia meninggal karena penyakit kanker  yang hampir setahun menghentikan kegiatannya. Sebelum penyakit itu hinggap, ia memang sering menghabiskan kesehariannya di luar rumah untuk mengelola barbershop milik keluarga.
Dulu barbershop itu ramai sekali didatangi para pelanggan. Orang-orang Savona lebih memilih datang ke barbershop yang ibunya kelola daripada harus ke barbershop yang lain, walau hanya sekedar keramas atau potong rambut. Padahal di kota Savona,  orang-orang yang membuka usaha barbershop cukup banyak, mungkin karena pelayanan dan suasana ruangan yang didesain seperti suasana tahun 80-an membuat para pelanggan seperti memasuki sebuah lorong waktu yang membawa mereka ke masa lalu.Dari desain dinding, meja-meja kayu sampai peralatan yang mereka gunakan, semuanya begitu detail.
Dalam melayani setiap pelanggan, ibunya juga tak pilih-pilih, semua ia anggap pelanggan yang perlu dilayani dengan baik. Ketika mereka tahu ibunya menderita penyakit kanker, orang-orang Savona silih berganti mengunjunginya di rumah sakit, ada yang memberikan bantuan berupa makanan dan materi, atau hanya sekedar memberikan dukungan berharap ibunya tetap semangat dan mau berjuang untuk tidak menyerah dengan penyakit kankernya itu. Mungkin karena keramahan ibunya yang tidak pernah dibuat-buat, orang-orang Savona begitu peduli akan kesembuhan ibunya,  Apalagi semenjak barbershop itu mereka jual untuk biaya rumah sakit, para pelanggan yang biasanya ramai berkunjung karena ada ibunya kini sudah tidak pernah datang lagi.
Pioggia masih berharap ibunya tidak pergi secepat itu, ia ingin seperti gadis-gadis seusianya yang belum sibuk memikirkan kebutuhan rumah, ia masih ingin hidup dengan normal, bergaul dengan teman-teman untuk sekedar menghabiskan malam minggu di luar rumah ataupun semacamnya dan tidak harus keliling kesana kemari berjualan di pinggir trotoar, menemui banyak pedagang yang rata-rata berusia jauh lebih tua darinya. Hari-harinya seperti disibukkan dengan langkah-langkah kaki yang marah dan guyuran hujan yang setiap hari membuat lapaknya semakin jarang didatangi pembeli.
Hari itu semakin siang, mereka berdua masih sesekali sibuk membersihkan beberapa pernak-pernik yang kotor karena cipratan air hujan yang memantul dari trotoar semen.
“Makan lah dulu, sambil menunggu pembeli datang” kata bibi Loria sambil menyodorkan kotak karton putih berisi roti kacang.
“Oh iya bi, bibi sudah makan ?”
“Nanti saja, masih ada yang harus bibi bersihkan, ternyata hujan begini bikin repot ya” kata bibi Loria tertawa kecil.
“Apa kamu tidak repot berjualan sendiri seperti ini setiap hari ? Mungkin ada baiknya kamu mulai memikirkan saran ayahmu untuk segera mencari laki-laki yang siap menikahimu, lagipula usiamu sudah hampir 23, mau sampai kapan kamu begini terus ?” Tanya bibi Loria.
“Entahlah bi, mungkin sampai aku punya toko seperti ibu dulu”
“Bukankah lebih baik kalau ada laki-laki yang menemanimu, kalian bisa membangun sebuah toko berdua, akan lebih mudah jika ada yang mau membantumu berjualan”
“Kan sekarang ada bibi” sahut Pioggia tertawa.
“Dasar, kau keras kepala miripi ibumu dulu” jawab bibinya sedikit kesal.
Bibinya tak habis pikir, padahal banyak laki-laki yang sudah beberapa kali mendatangi ayahnya untuk melamar Pioggia, namun gadis ini tetap bersikeras belum mau menikah, mungkin yang ada dalam pikirannya setiap hari adalah bagaimana ia bisa membuat barang dagangannya banyak terjual supaya bisa membantu penghasilan ayahnya yang hanya sebagai pekerja serabutan dengan penghasilan yang tidak tentu. Apalagi jika melihat usia ayahnya yang sudah hampir 60 tahun, tak tega rasanya ia membiarkan ayahnya bekerja terlalu sering. Dengan usia yang sudah setua itu seharusnya ia harus lebih sering tinggal di rumah untuk menikmati hari-hari tua, mengurusi kelinci-kelinci peliharaannya di kandang belakang rumah yang ia beli dulu waktu ulang tahun pernikahannya.
Waktu itu ketika usia pernikahan ayah dan ibunya yang ke-16. Ayahnya sengaja membeli sepasang kelinci dari toko hewan dekat pesisir pantai tempatnya bekerja dulu, menurutnya itu sebagai simbol kesetiaan mereka berdua yang  pada akhirnya keduanya harus dipisahkan karena kematian ibunya. Tapi ayahnya pikir ia tak sebodoh romeo yang berjanji sehidup semati demi juliet. Ia masih punya gadis kecil yang harus ia rawat dengan tangannya sendiri.

Mungkin karena itu Pioggia masih belum mau menerima pinangan lelaki manapun sebelum ia bisa membanguni tokonya sendiri. Karena yang terpenting baginya saat ini hanyalah bagaimana ia bisa menjaga ayah, keluarga bibi dan terpal oranye warisan ibunya.