Selasa, 25 Oktober 2016

Bul bul Wonikebul

Asap mengepul-ngepul dari rumah warga-warga penghuni kampung Wonokebul, di kampung ini Pak Dukuh Dulkamid memang menggalakkan warganya untuk giat merok*k demi kesejahteraan kampungnya di mata pemerintah daerah. Katanya “saya sering nonton di tv, bahwa merok*k dapat meningkatkan perekonomian lewat jalan kepopuleran, jadi semakin kita sering merok*k, semakin populerlah kita di mata nasional, bahkan internasional” tambahnya dengan suara lantang. Pak Dulkamid memang dianggap warga adalah pemimpin yang paling maju, baik pikiran maupun kondisi ekonominya. Sering sekali ide-ide cemerlang semacam ini ia dapat dari banyak iklan-iklan dan tayangan di televisi, cara bicaranya yang lempeng dengan susunan kata dan intonasi sempurna menirukan gaya khas petugas kereta Commuter line, membuat siapapun yang mendengarnya takzim lan sendiko dawuh.
Karena kelihaiannya dalam menyusun kata-kata, Pak Dulkamid berhasil menjabat kepala dusun 3 periode berturut-turut. Beberapa kandidat yang pernah jadi lawannya pun silih berganti tumbang bergelimpangan ketika diadakan sesi debat untuk para calon kepala dusun. Mereka kalah wibawa, kalah bicara, kalah kharisma, kalah pengalaman, bahkan kalah pendukung karena banyak warga yang semula berada di kubu yang berseberangan dengan Pak Dulkamid mendadak berbalik arah dan menjadi simpatisannya.
Himbauannya untuk menggiatkan ngudud bagi setiap warganya dilaksanakan dengan sukarela dan tanpa paksaan, warga kampung tak akan berpikir panjang jika perintah itu datang sendiri dari mulut Pak Dulkamid, dari para simbok-simbok yang setiap pagi pergi menggendong kayu bakar ke pasar, bapak-bapak yang menghabiskan waktunya dinas di antara petakan sawah, sampai anak-anak sekolah pun tak luput dari himbauan Pak Dulkamid, meski terkadang mereka harus merok*k sembunyi-sembunyi takut jika guru mereka di sekolahan tahu dan akhirnya berujung rok*k mereka berpindah saku. Setiap hari suasana kampung Wonokebul selalu diselimuti asap rok*k, dari pagi buta sampai malam menjelang pun asap di kampung ini tak pernah berangsur surut, bahkan kian hari kian bertambah pekat mengalahkan asap kayu bakar ketika para ibu rumah tangga sedang olah-olah di dapur.
Pernah sekali warga ada yang bertanya arti peringatan yang tertulis kecil di bagian bawah bungkus rok*k yang berbunyi “Merok*k dapat mengakibatkan serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin”. Pak Dulkamid dengan tenang hanya menjawab, “peringatan itu ditujukan hanya untuk orang-orang yang sudah sepuh, yang usianya sudah 90 tahun ke atas, jadi untuk para warga yang masih dalam usia produktif atau yang masih berusia di bawah 90 tahun tidak perlu cemas dan khawatir, karena peringatan itu tidak berlaku untuk mereka” himbaunya. Warga kampung yang membuka warung di rumah juga dihimbau untuk mengganti seluruh barang dagangannya dengan rok*k berbagai merk, kalau perlu pasang di depan supaya orang yang lewat pun bisa dengan jelas membaca merk-merk yang dijual di warung. “Tak perlu ambil untung banyak, yang penting cepet laku” kata Pak Dulkamid kepada warga.
Seakan roda perekonomian ikut taklid dengan kata-kata Pak Dulkamid. Penghasilan warga yang berjualan rok*k di warung maupun di pasar meningkat, semula mereka berpenghasilan sehari hanya 50 ribu kini bisa sampai tiga kali lipat, terutama untuk mereka yang membuka warung di rumah. Sejak himbauan merok*k berlaku di kampung Wonokebul, warung mereka silih berganti dikunjungi warga untuk membeli berbagai rok*k yang mereka jual. Para warga yang tergolong mampu bahkan sampai membeli puluhan pack untuk stok mereka di rumah, takut kalau-kalau nanti mereka kehabisan.
Untuk warga yang kurang mampu, mereka dilayani dengan sistem eceran, sehingga warga tidak perlu membeli 1 bungkus penuh untuk bisa merok*k di rumah, ada juga sebagian warung yang menjual udud lintingan, dengan lembaran kertas garet dibungkus dengan kertas minyak bergambar alat musik seruling dan tembakau yang terpisah dibungkus plastik kiloan, cara pakainya mudah, tinggal menaburkan tembakau sesuai selera di atas selembar kertas garet, kemudian kertas dan tembakau digulung dengan kedua telapak tangan membentuk gulungan menyerupai terompet dengan salah satu ujungnya berukuran lebih besar dengan ujung yang lain sebagai tempat yang disulut api. rok*k jenis ini biasanya sering dibeli untuk warga yang berusia lanjut dan berekonomi rendah karena harganya jauh lebih murah dibanding dengan rok*k modern menggunakan bungkus karton kotak. Apapun bentuk rok*knya, bagi warga Wonokebul yang penting mereka ikut berpartisipasi dalam menjaga kepopuleran nama kampung sesuai perintah Pak Dulkamid.
Mengingat dampak positif yang Pak Dulkamid lihat di kampung Wonokebul setelah adanya aktivitas wajib merok*k, ia lalu mempunyai gagasan untuk meningkatkan kepedulian warga terhadap rok*k. Akhirnya berlakulah peraturan tambahan untuk kegiatan ini dengan kewajiban bagi warga yang akan menikah, diwajibkan untuk memakai seserahan maupun mas kawin dengan beberapa bungkus rok*k dan seperangkat korek api, lalu untuk anak-anak kampung yang berprestasi di sekolahan, akan diberi hadiah voucher merok*k bernilai seratus ribu rupiah. Untuk warga Wonokebul yang ketahuan tidak merok*k, akan dikenakan sangsi berupa denda sesuai lama waktu mereka tidak merok*k, dan paling parah Pak Dulkamid memberlakukan hukuman kebiri untuk warga laki-laki dan hukuman diarak keliling kampung untuk warga perempuan yang ketahuan tidak menyediakan rok*k di rumah. Semua warga kampung tanpa berpikir panjang menyetujui peraturan baru tersebut, lagi-lagi karena semua itu perintah dari Pak Dukuh Dulkamid.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Sudah sebulan berjalan semenjak peraturan merok*k yang baru diterapkan, warga semakin sering membawa rok*k kemana-mana, di kantong baju, kantong celana, di dalam selendang para simbok yang berjualan di pasar, di sela-sela daun telinga para bapak rumah tangga, bahkan ada yang tergulung rapi di balik dompet. Ketakutan warga yang disebabkan hukuman berat bagi mereka yang tidak merok*k kini tidak dirasakan lagi oleh mereka, warga yang awalnya terbatuk-batuk karena mengisap tumpukan asap rok*k kini sudah mulai dengan tenangnya ngebul kesana-kemari tanpa harus menahan perut yang semula sering kram karena batuk yang tersengal-sengal. Pemandangan ini membuat Pak Dulkamid sebagai kepala dusun menjadi senang bukan kepalang, ia optimis dalam 10 tahun ke depan kampung Wonokebul akan menjadi salah satu kampung terpopuler di dunia mengalahkan desa Dieng dengan festival rambut gimbalnya. Itu artinya perekonomian warga akan semakin meningkat, para awak media akan berbondong-bondong mendatanginya untuk meminta wawancara, ia sudah merencanakan masak-masak apa yang akan ia paparkan kepada para wartawan jika mereka nantinya minta dijelaskan dari mana asal-muasal aktivitas merok*k ini. Semua harapan sudah ia susun rapi di dalam pikirannya, semua program-program yang sudah terlaksana ia catat rapi dalam ceklis yang ia simpan di amplop besar warna cokelat bertuliskan “PROGRAM TERLAKSANA”.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Asap rok*k semakin mengepul seperti membentuk lapisan kabut di atas atap-atap rumah warga, sampai saat ini warga belum merasakan dampak yang signifikan dari aktivitas merok*k yang sudah berjalan hampir 2 bulan, kecuali mereka yang membuka warung di kampung yang keuntungannya meningkat karena rok*k dagangan mereka habis diserbu tetangga sendiri.
Hari itu warga kampung Wonokebul tiba-tiba dikejutkan dengan kematian Pak Somo yang memang sudah hampir setengah bulan dirawat di rumah sakit karena batuk parah dan tak kunjung sembuh, suaranya mulai serak dan mengecil lalu lama-kelamaan hilang, ia hanya sering komat-kamit jika ditanya dokter atau ketika minta ini itu kepada suster dan anak-anak yang menjaga beliau selama di rumah sakit. Sebagai kepala dusun Pak Dulkamid sempat datang ke rumah sakit untuk menanyakan perihal penyakit yang diderita Pak Somo. Diagnosa dokter menyatakan paru-paru Pak Somo rusak parah dan menghitam, kata dokter ini disebabkan kebiasaan Pak Somo yang sering merok*k. Kata anak-anaknya, “bapak biasanya habis 2 bungkus tiap hari, itu juga kalau bapak lagi pas kerja, kalau pas hari libur bisa lebih”. Pak Dulkamid merasa sedikit tertolong karena anak-anak Pak Somo tidak menyebut-nyebut namanya sebagai dalang utama dibalik kegemaran merok*k warga. Mendengar pernyataan itu, Pak Dulkamid tak lantas percaya begitu saja. Yang sering ia lihat di tv selama ini, mereka yang sering merok*k malah jago beladiri, berwibawa, kaya raya dengan potongan jas ala petugas MLM, mereka pun selalu terlihat menawan dikelilingi para wanita-wanita cantik. Mungkin dokter ini iri dengan wajahnya yang semakin hari semakin menawan disebabkan karena kebiasaannya merok*k sehingga ia memberikan diagnosa palsu kepadanya, pikir Pak Dulkamid.
Beberapa warga yang sempat menjenguk Pak Somo pun mendengar pernyataan yang sama dari dokter di rumah sakit. Ada yang menolak mentah-mentah diagnosa itu, ada pula yang hanya diam dan mulai ragu dengan kebijakan yang diterapkan Pak Dulkamid. Melihat ada sesuatu yang mengancam kelangsungan programnya, Pak Dulkamid berfikir keras memutar otak untuk memberikan penjelasan kepada warganya yang mulai ragu dengan kredibilitasnya sebagai pimpinan kampung.
Seminggu berjalan tanpa ada pencerahan dari Pak Dulkamid, beberapa warga satu persatu mulai sering keluar masuk rumah sakit, keluhan mereka hampir semuanya sama, paru-paru rusak dan menghitam. Para pelajar yang ketahuan sering membawa rok*k ke sekolahan dipanggil orangtuanya untuk diberikan surat peringatan. Para warga mulai bertanya-tanya, sudah benarkah aktivitas merok*k mereka selama ini?. Pak Dulkamid yang kata-katanya terkenal mujarab mengobati kecemasan warga lebih sering keluar, dinas di kantor kelurahan katanya. Ada pun beberapa warga yang sudah menemui ajal dengan penyakit yang sama diderita oleh Pak Somo. Dari Mbah Kusmin, Pak Sarno, Mas Penget dan yang paling terbaru Robertus anak juragan bathok kelapa yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Pak Dulkamid mulai dicari-cari warga, terkadang mereka datang langsung ke rumah untuk minta penjelasan dan pencerahan. Tetapi Pak Dul sering pergi sampai petang hari. Pernah beberapa warga berhasil menemuinya di malam hari. Ketika ditanya jawabnya singkat dan penuh dengan renungan yang mendalam, “semua itu sudah takdir Tuhan, kita semua tidak tahu nafas ini akan diijinkan Tuhan berfungsi sampai kapan, yang terpenting banyak-banyaklah beribadah, membantu sesama dan menuntut ilmu” katanya. Kata-kata Pak Dulkamid menggetar di dalam dada para warga yang berada di situ, mereka pulang dengan tenang tetapi tidak menemukan solusi untuk malapetaka yang sedang menimpa kampung mereka.
Tiba-tiba Pak Dulkamid mendapatkan pencerahan, ia teringat dengan pohon keramat di ujung kampung yang sudah lama tak diberi sesaji oleh warga yang sudah sibuk dengan kegemaran merok*k mereka. Hari itu juga Pak Dulkamid mengumpulkan warga untuk mengadakan rapat di balai pertemuan, dengan peci hitam dan kemeja merah polos kedodoran, Pak Dulkamid naik ke atas mimbar dan menyampaikan beberapa pernyataan yang telah ia tulis rapi di kertas folio. Pidato ia awali dengan ucapan bela sungkawa kepada para keluarga yang masih dirundung duka. Lalu pada inti pidatonya ia memberikan himbauan yang dirasa akan menjadi racun penawar keraguan warga terhadapnya. Dengan suara lantang dan mimik muka yang dibuat serius, “kepada para warga, bahwa musibah yang sedang kita alami sekarang bukanlah karena kebiasaan kita merok*k, melainkan karena kita sudah lama tidak memberikan sesaji untuk penghuni pohon keramat di ujung kampung, sehingga sing mbaurekso marah kepada kita, sehingga ia menjadikan warga kampung sebagai tumbal dengan memakan paru-paru mereka satu persatu, mulai saat ini kita harus lebih rajin memberikan sesaji kepada penghuni pohon keramat tersebut, agar kampung kita terlepas dari musibah ini, sekian”, tutup Pak Dulkamid yang mengucap salam disertai batuk yang terpingkal-pingkal, sedetik kemudian ia terhuyung tak sadarkan diri, warga panik mencari pertolongan, “Pak Dul dimakan penghuni pohon!!” teriak salah satu warga.

Senin, 24 Oktober 2016

Windy

Sumber gambar : https://ae01.alicdn.com/kf/HTB1US0nIVXXXXa6XXXXq6xXFXXXJ/Abstract-font-b-Lady-b-font-With-Unbrella-Oil-Painting-On-Canvas-Abstract-font-b-Lady.jpg

`“Lagi apa kamu Win ?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari balik jendela kelas. Aku hanya diam selagi Erika masuk ke dalam kelas dan segera menarik bangku untuk duduk di sampingku.
“Dia nembak aku tadi Er.”
“Siapa ? Aryo ?”
“Iya.”
“Bagus donk, kamu kan juga suka sama dia.”
“Itu dulu Er, setelah aku tau kalau dia mau dijodohkan dengan anak teman bapaknya, semenjak itu aku tak punya perasaan lagi dengannya, apalagi jika aku harus bersaing untuk Aryo, aku kan perempuan Er.”
“Ya kenapa engga Win, sekarang bukan jamannya lagi selalu cowok yang ngejar cewek, kita juga punya hak yang sama, apalagi itu buat perasaanmu sendiri.”
“Entahlah Er, tapi sekarang perasaanku ngga lagi ke Aryo, dia rasanya biasa saja sekarang.”
“Trus kamu jawab engga ?”
Aku diam sejenak, “aku ngga jawab apa-apa, aku masih bingung.”
“Kamu masih suka sama dia Win, buktinya kamu masih bingung kan ?”
“Entahlah, soal itu aku juga bingung.”
“Trus kamu mau gimana sekarang ? Jangan gini terus donk, aku juga bingung harus gimana kalau kamu ngga ada tindakan.”
“Aku mau ke kantin Er.”
“Aku ikut.”
Kami berdua pun berjalan beriringan menyusuri lorong kelas-kelas yang jika sekilas dilihat desainnya mirip lorong bangsal-bangsal di rumah sakit, dari tiang-tiangnya yang saling berdekatan di kanan dan kiri lorong, seperti sebuah gapura yang sengaja di pasang dengan jarak antar sepasang tiang masing-masing satu setengan meter yang ramah menyambut lalu lalang langkah kaki menyajikan ketukan dengan berbagai irama dan derajat seseorang yang dapat terlihat dari model sepatu yang mereka kenakan.
“Kamu pesen apa, aku yang traktir” Tanya Erika.
“Yang biasa aja Er.”
“Oke” jawab Erika sambil berjalan ke arah stand penjual bakso malang favoritku.
Tak lama kemudian Erika kembali dengan kedua tangannya membawa es jeruk dan teh botol seperti yang biasa kami minum bersama kalau sedang menghabiskan waktu berdua di kantin.
Aku dan Erika memang sudah lama sekali bersahabat, semenjak duduk di bangku SMA, kami berdua sama-sama mengambil kelas IPA, dan kebetulan kami juga belajar di kelas yang sama. Entah mengapa kami seperti punya keterikatan satu sama lain, kami sering sekali dipertemukan dalam satu kegiatan yang sama, seperti ekstrakulikuler menari, pencak silat, maupun ketika aku terpilih menjadi anggota tonti SMA dia pun juga. Dari situ kami berdua semakin mengenal rahasia satu sama lain. Dari beberapa laki-laki yang pernah menjadi pacarku, Erika hampir semuanya tahu, begitupun sebaliknya. Sampai akhirnya kami berdua sama-sama kuliah di Fakultas Biologi UI Jakarta.  Tuhan seperti menempatkan kami ke dalam lipatan catatan yang sama, dimana setiap kejadian adalah garis-garis lipatan di dalamnya. Sampai pada akhirnya lipatan itu sampai pada Aryo, lelaki bertubuh tinggi sedang mahasiswa Fakultas Ilmu Politik yang selama beberapa semester mengusutkan pikiran kami, terutama aku.
“Apa ada orang lain Win ?”
“Ngga ada, aku lagi pengen sendiri sekarang Er?”
“Tapi permintaan orang tuamu gimana? Bukannya mereka bilang nggak mau lama-lama liat kamu sendiri, lagi pula umurmu udah 24 lho !.”
“Jangan ngomongin umur ah !” Kataku sedikit kesal.
“Mereka pasti lebih tahu kondisiku sekarang Er, aku harap mereka bisa ngerti.”
“Hehe.. Bercanda Win, mungkin kamu perlu cerita masalah ini ke mereka, barangkali orang tuamu lebih berpengalaman tentang masalahmu sekarang”
Orang tuaku memang sudah beberapa kali menginginkan aku untuk segera membawa pulang laki-laki untuk dikenalkan kepada mereka sebagai calon suami. Sudah beberapa kali mereka mencoba untuk menjodohkanku dengan anak teman sekantor ayah, tapi dari beberapa laki-laki yang mereka kenalkan denganku, belum ada yang bisa menggantikan posisi Aryo dipikiranku.
“Silahkan non 2 mangkok bakso malang” tiba-tiba ibu penjual bakso sejenak menghentikan obrolan kami berdua sambil membawa nampan berisi 2 mangkok bakso malang yang tadi sudah dipesan Erika.
“Makasih Bu” jawabku pelan.
“Yang sabar ya Win, masalah kamu Cuma  belum waktunya selesai.”
“Iya makasih Er, maaf ya aku jadi sering merepotkan.
“Jangan bilang gitu ah, lagipula masalah kan kita sudah sering gantian Win, sekarang kamu, bisa jadi besok giliranku, tapi asal ada masalah jangan aku terus ya yang traktir makan..hehe,” canda Erika.
“Haha.. inget aja kamu Er kalau urusan makan.”
Kami masih bisa sedikit bercanda di sela-sela masalahku yang akhirnya jadi masalah Erika juga. Sebenarnya aku tak mau melibatkan Erika dalam masalahku dengan Aryo, tapi kebiasaan kami dari waktu sekolah yang tidak bisa jika menyimpan masalah kami berdua sendirian, akhirnya yang dari awal niat tidak ingin membagi bebanku ini dengan Erika harus bocor juga pada akhirnya lantaran kebiasaan kami yang saling ketergantungan satu sama lain. Apalagi karena usia kami yang sudah dibilang bukan ABG lagi, setiap ada masalah yang berhubungan dengan percintaan, akan lebih terasa pelik karena kondisinya yang juga pasti akan melibatkan keluarga. Sering jika keluarga besar kami berkumpul dalam satu acara, banyak pertanyaan yang terasa menyudutkan bagi para perempuan seperti kami, “kapan nikah ?” atau “udah ada yang ngelamar belum ?”. Itu sedikit diantara banyak pertanyaan yang sering keluarga besar kami masing-masing lontarkan, atau jika tidak sengaja orang tua kami melihat foto di handphone kami masing-masing yang tengah selfie dengan teman laki-laki, mereka pasti bertanya ini itu, ini siapa lah, dari nama, alamat, usia dan sebagainya. Mungkin karena kami perempuan yang kata mereka tak baik jika sendiri lama-lama, takut terjadi apa-apa dengan kami mengingat jaman sekarang yang rentan bagi perawan seperti kami itu ada benarnya juga.
Beberapa menit telah melewati obrolan kami berdua di kantin hingga tak terasa hampir 2 jam mangkok bakso ini kami biarkan teronggok tak diambil pemiliknya. Cengkrama para mahasiswa yang entah sudah berapa kali berganti pemilik mulutnya pun seperti tak bersinggungan dengan keberadaan kami berdua di sini. Siang yang semakin menengadah, cahaya matahari yang menyusup masuk dari kaca-kaca gedung fakultas kami yang memang sengaja dibuka sebagai tambahan penerangan di dalam ruang-ruang kelas, tak terkecuali area kantin yang memang didesain di ruangan terbuka dengan jendela-jendela kaca di sekeliling ruangan menambah kesan santai yang cocok untuk menghabiskan jam-jam kosong ketika menunggu dosen yang terkadang datang terlambat, atau seperti kami yang tak ada jam kuliah dan sengaja ke kampus hanya untuk membunuh penat ketika hanya seharian berdiam diri di dalam rumah.
Tiba-tiba aku teringat ketika awal aku kenal dengan Aryo. Sebenarnya jika dilihat ia tak begitu menarik secara fisik, tinggi, kurus, badannya pun kalah kekar jika dibanding dengan mahasiswa yang seangkatan dengannya. Aku dulu sama sekali tak menaruh hati padanya. Tapi Tuhan punya waktu dan tempatnya sendiri ketika perasaan itu tiba-tiba muncul hanya karena minat kami yang sama-sama suka duduk sendirian. Setahuku ia juga tak punya banyak teman perempuan karena memang dilihat dari sikapnya yang lebih sering diam dan menutup diri. Ketika kami sudah saling mengenal pun tak terlalu banyak yang dibicarakan. Hubungan kami memang terlihat begitu sepi, senyap namun riuh di dalam. Tidak banyak yang tahu kalau kami punya hubungan istimewa terkecuali Erika yang memang tak pernah aku batasi cerita apa saja yang terjadi padaku, bahkan lebih banyak dari apa yang orang tuaku ketahui. Mungkin karena kami seusia sehingga aku merasa lebih nyaman ketika menceritakan segala masalahku padanya. Menurutku ia sudah menjadi orang paling pandai dalam memberikan solusi pada setiap masalah yang datang padaku. Aku tak membantah jika waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada siapapun termasuk orang tuaku sendiri. Menurutmu ini berlebihan ? tidak bagiku, aku hanya merasa semua masalahku hanya Erika yang berhak tahu. Apa salahnya jika perasaan nyaman itu aku jatuhkan untuk sahabat sendiri. Bukankah setiap orang berhak menentukan dimana tempat ia merasa nyaman ? termasuk kami.

Jumat, 14 Oktober 2016

Sabun mandi



            Aku akan punya banyak cerita ketika nanti kami sekeluarga bisa kumpul bersama di rumah eyang, bagaimana masa kecil aku dan kakak ketika bermain umbul dari kartu bergambar tokoh-tokoh kartun favorit kami waktu SD. Semua tak serba cepat berubah seperti sekarang, ketulusan orang-orang akan bertahan selama mereka mau dan tanpa alasan apapun, sungguh jika masa-masa itu bisa diandaikan seorang perempuan, aku akan menjadikannya istri, anggap saja seperti itu.
            Semua begitu mudah kami tanggalkan satu-persatu, dari kakak yang sudah sibuk dengan berbagai masalah yang memang tak pernah sengaja dibuat-buat karena memang sudah resiko dia sendiri sengaja tumbuh jadi dewasa, sampai saat ini tak ada waktu lagi untuk diajak berenang di blumbang bekas galian para penambang batu waktu kita masih sibuk dengan ingus masing-masing. Jika sudah begini, aku hanya akan mati-matian membunuh waktu yang memang lambat laun memisahkan kami dari seringnya sebuah pertemuan.
            Cerita keluarga kami tak bakal jauh-jauh dari siapa itu bapak, dengan mukanya yang didesain tegas untuk terus kami segani sampai sekarang. Kumisnya tak pernah runtuh dari wajah yang kadang bisa tampak sangat penyayang jika memang menurut beliau kami butuh bapak yang seperti ini. Apapun yang beliau katakan kami taklid, tak peduli sampai mana beliau sekolah, karena dari beliau kami kenal cara melakukan apa saja sendiri, dari hanya sekedar menuang air minum kami sendiri setelah makan, sampai ketika kami harus mandiri dengan segala macam pekerjaan yang dewasa ini terpaksa mengurangi waktu berkumpul dengan beliau. Kami tahu bapak sengaja dengan resiko yang ia buat sendiri untuk kedua anaknya, tapi dia pasti sudah tahu betul jika kami tak akan sia-sia menjadi dewasa. Ia hanya seseorang yang tegas dengan caranya yang penyayang itu, itu saja hal luar biasa yang terlihat dari seorang bapak.
            Pada akhirnya seberapa luar biasanya bapak pasti ada sosok yang berperan jauh lebih hebat di samping beliau, ya kami sebut beliau ibu, atau yang biasa kami panggil mamak. Selalu bau dapur, tapi cantik kan tidak melulu soal cara berdandan dan harum parfum yang menyalak hidung seperti pada umumnya. Justru beliau terlihat mempesona bagi kami ketika tampil apa adanya di dalam rumah. Bukankah cantik ala Tuhan itu sudah dari sananya ya ? Kalaupun banyak produsen alat kecantikan, itu hanya jadi sesuatu yang sifatnya tambahan, tapi tidak akan jadi cantik ketika ia di tawarkan di tempat yang kurang tepat. Misalkan, mereka menawarkan krim pemutih kulit di daerah mayoritas orang kulit putih. Konsumen mereka pasti tidak berniat merubah warna kulit jadi pusat pasi, begitu pun sebaliknya, produsen kecantikan yang menawarkan krim penggelap kulit. Bayangkan jika ditawarkan di lokasi yang mayoritas berkulit hitam, yang ini mungkin sudah tak perlu dijelaskan kenapa mereka ditolak.
            Kembali lagi ke ibu,saya jadi ingat ketika kecil dulu berdua dengan kakak menghabiskan waktu hampir satu jam jika di kamar mandi berdua, padahal waktu itu kami harus segera berangkat sekolah sebelum jam 7. Memang kalau sudah berdua seperti itu kami suka lupa waktu, apa saja bisa kita buat mainan. Dari sabun yang bagi orang biasa hanya digunakan sebagai pembersih badan kami gunakan sebagai amunisi pencetak gelembung udara sampai gayung yang kami pakai untuk alat pelontar bom air. Sasarannya apalagi kalau bukan muka kami masing-masing. Kami tidak akan melakukan gencatan senjata sebelum ibu masuk dan mengguyur kami berdua dengan pelontar air (dibaca : gayung) kami tadi. Ya, tapi semua akan berulang keesokan harinya, luar biasa bukan ? betapa cerdasnya k`ami berdua merakit berbagai senjata dengan bahan yang ada di kamar mandi, bahkan mungkin pembuat senjata sekelas Mikhail Kalashnikov pun belum tentu bisa seperti kami. Ya, bagi kami waktu itu, tak perlu susah payah bermimpi menjadi apa, nikmati saja seperti yang ada waktu itu, kalau gagal, trus kenapa ? Buat saja mimpi yang lain atau kau bisa mulai semuanya dari awal.