Selasa, 25 Oktober 2016

Bul bul Wonikebul

Asap mengepul-ngepul dari rumah warga-warga penghuni kampung Wonokebul, di kampung ini Pak Dukuh Dulkamid memang menggalakkan warganya untuk giat merok*k demi kesejahteraan kampungnya di mata pemerintah daerah. Katanya “saya sering nonton di tv, bahwa merok*k dapat meningkatkan perekonomian lewat jalan kepopuleran, jadi semakin kita sering merok*k, semakin populerlah kita di mata nasional, bahkan internasional” tambahnya dengan suara lantang. Pak Dulkamid memang dianggap warga adalah pemimpin yang paling maju, baik pikiran maupun kondisi ekonominya. Sering sekali ide-ide cemerlang semacam ini ia dapat dari banyak iklan-iklan dan tayangan di televisi, cara bicaranya yang lempeng dengan susunan kata dan intonasi sempurna menirukan gaya khas petugas kereta Commuter line, membuat siapapun yang mendengarnya takzim lan sendiko dawuh.
Karena kelihaiannya dalam menyusun kata-kata, Pak Dulkamid berhasil menjabat kepala dusun 3 periode berturut-turut. Beberapa kandidat yang pernah jadi lawannya pun silih berganti tumbang bergelimpangan ketika diadakan sesi debat untuk para calon kepala dusun. Mereka kalah wibawa, kalah bicara, kalah kharisma, kalah pengalaman, bahkan kalah pendukung karena banyak warga yang semula berada di kubu yang berseberangan dengan Pak Dulkamid mendadak berbalik arah dan menjadi simpatisannya.
Himbauannya untuk menggiatkan ngudud bagi setiap warganya dilaksanakan dengan sukarela dan tanpa paksaan, warga kampung tak akan berpikir panjang jika perintah itu datang sendiri dari mulut Pak Dulkamid, dari para simbok-simbok yang setiap pagi pergi menggendong kayu bakar ke pasar, bapak-bapak yang menghabiskan waktunya dinas di antara petakan sawah, sampai anak-anak sekolah pun tak luput dari himbauan Pak Dulkamid, meski terkadang mereka harus merok*k sembunyi-sembunyi takut jika guru mereka di sekolahan tahu dan akhirnya berujung rok*k mereka berpindah saku. Setiap hari suasana kampung Wonokebul selalu diselimuti asap rok*k, dari pagi buta sampai malam menjelang pun asap di kampung ini tak pernah berangsur surut, bahkan kian hari kian bertambah pekat mengalahkan asap kayu bakar ketika para ibu rumah tangga sedang olah-olah di dapur.
Pernah sekali warga ada yang bertanya arti peringatan yang tertulis kecil di bagian bawah bungkus rok*k yang berbunyi “Merok*k dapat mengakibatkan serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin”. Pak Dulkamid dengan tenang hanya menjawab, “peringatan itu ditujukan hanya untuk orang-orang yang sudah sepuh, yang usianya sudah 90 tahun ke atas, jadi untuk para warga yang masih dalam usia produktif atau yang masih berusia di bawah 90 tahun tidak perlu cemas dan khawatir, karena peringatan itu tidak berlaku untuk mereka” himbaunya. Warga kampung yang membuka warung di rumah juga dihimbau untuk mengganti seluruh barang dagangannya dengan rok*k berbagai merk, kalau perlu pasang di depan supaya orang yang lewat pun bisa dengan jelas membaca merk-merk yang dijual di warung. “Tak perlu ambil untung banyak, yang penting cepet laku” kata Pak Dulkamid kepada warga.
Seakan roda perekonomian ikut taklid dengan kata-kata Pak Dulkamid. Penghasilan warga yang berjualan rok*k di warung maupun di pasar meningkat, semula mereka berpenghasilan sehari hanya 50 ribu kini bisa sampai tiga kali lipat, terutama untuk mereka yang membuka warung di rumah. Sejak himbauan merok*k berlaku di kampung Wonokebul, warung mereka silih berganti dikunjungi warga untuk membeli berbagai rok*k yang mereka jual. Para warga yang tergolong mampu bahkan sampai membeli puluhan pack untuk stok mereka di rumah, takut kalau-kalau nanti mereka kehabisan.
Untuk warga yang kurang mampu, mereka dilayani dengan sistem eceran, sehingga warga tidak perlu membeli 1 bungkus penuh untuk bisa merok*k di rumah, ada juga sebagian warung yang menjual udud lintingan, dengan lembaran kertas garet dibungkus dengan kertas minyak bergambar alat musik seruling dan tembakau yang terpisah dibungkus plastik kiloan, cara pakainya mudah, tinggal menaburkan tembakau sesuai selera di atas selembar kertas garet, kemudian kertas dan tembakau digulung dengan kedua telapak tangan membentuk gulungan menyerupai terompet dengan salah satu ujungnya berukuran lebih besar dengan ujung yang lain sebagai tempat yang disulut api. rok*k jenis ini biasanya sering dibeli untuk warga yang berusia lanjut dan berekonomi rendah karena harganya jauh lebih murah dibanding dengan rok*k modern menggunakan bungkus karton kotak. Apapun bentuk rok*knya, bagi warga Wonokebul yang penting mereka ikut berpartisipasi dalam menjaga kepopuleran nama kampung sesuai perintah Pak Dulkamid.
Mengingat dampak positif yang Pak Dulkamid lihat di kampung Wonokebul setelah adanya aktivitas wajib merok*k, ia lalu mempunyai gagasan untuk meningkatkan kepedulian warga terhadap rok*k. Akhirnya berlakulah peraturan tambahan untuk kegiatan ini dengan kewajiban bagi warga yang akan menikah, diwajibkan untuk memakai seserahan maupun mas kawin dengan beberapa bungkus rok*k dan seperangkat korek api, lalu untuk anak-anak kampung yang berprestasi di sekolahan, akan diberi hadiah voucher merok*k bernilai seratus ribu rupiah. Untuk warga Wonokebul yang ketahuan tidak merok*k, akan dikenakan sangsi berupa denda sesuai lama waktu mereka tidak merok*k, dan paling parah Pak Dulkamid memberlakukan hukuman kebiri untuk warga laki-laki dan hukuman diarak keliling kampung untuk warga perempuan yang ketahuan tidak menyediakan rok*k di rumah. Semua warga kampung tanpa berpikir panjang menyetujui peraturan baru tersebut, lagi-lagi karena semua itu perintah dari Pak Dukuh Dulkamid.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Sudah sebulan berjalan semenjak peraturan merok*k yang baru diterapkan, warga semakin sering membawa rok*k kemana-mana, di kantong baju, kantong celana, di dalam selendang para simbok yang berjualan di pasar, di sela-sela daun telinga para bapak rumah tangga, bahkan ada yang tergulung rapi di balik dompet. Ketakutan warga yang disebabkan hukuman berat bagi mereka yang tidak merok*k kini tidak dirasakan lagi oleh mereka, warga yang awalnya terbatuk-batuk karena mengisap tumpukan asap rok*k kini sudah mulai dengan tenangnya ngebul kesana-kemari tanpa harus menahan perut yang semula sering kram karena batuk yang tersengal-sengal. Pemandangan ini membuat Pak Dulkamid sebagai kepala dusun menjadi senang bukan kepalang, ia optimis dalam 10 tahun ke depan kampung Wonokebul akan menjadi salah satu kampung terpopuler di dunia mengalahkan desa Dieng dengan festival rambut gimbalnya. Itu artinya perekonomian warga akan semakin meningkat, para awak media akan berbondong-bondong mendatanginya untuk meminta wawancara, ia sudah merencanakan masak-masak apa yang akan ia paparkan kepada para wartawan jika mereka nantinya minta dijelaskan dari mana asal-muasal aktivitas merok*k ini. Semua harapan sudah ia susun rapi di dalam pikirannya, semua program-program yang sudah terlaksana ia catat rapi dalam ceklis yang ia simpan di amplop besar warna cokelat bertuliskan “PROGRAM TERLAKSANA”.
Bal.. bul.. bal.. bul..
Asap rok*k semakin mengepul seperti membentuk lapisan kabut di atas atap-atap rumah warga, sampai saat ini warga belum merasakan dampak yang signifikan dari aktivitas merok*k yang sudah berjalan hampir 2 bulan, kecuali mereka yang membuka warung di kampung yang keuntungannya meningkat karena rok*k dagangan mereka habis diserbu tetangga sendiri.
Hari itu warga kampung Wonokebul tiba-tiba dikejutkan dengan kematian Pak Somo yang memang sudah hampir setengah bulan dirawat di rumah sakit karena batuk parah dan tak kunjung sembuh, suaranya mulai serak dan mengecil lalu lama-kelamaan hilang, ia hanya sering komat-kamit jika ditanya dokter atau ketika minta ini itu kepada suster dan anak-anak yang menjaga beliau selama di rumah sakit. Sebagai kepala dusun Pak Dulkamid sempat datang ke rumah sakit untuk menanyakan perihal penyakit yang diderita Pak Somo. Diagnosa dokter menyatakan paru-paru Pak Somo rusak parah dan menghitam, kata dokter ini disebabkan kebiasaan Pak Somo yang sering merok*k. Kata anak-anaknya, “bapak biasanya habis 2 bungkus tiap hari, itu juga kalau bapak lagi pas kerja, kalau pas hari libur bisa lebih”. Pak Dulkamid merasa sedikit tertolong karena anak-anak Pak Somo tidak menyebut-nyebut namanya sebagai dalang utama dibalik kegemaran merok*k warga. Mendengar pernyataan itu, Pak Dulkamid tak lantas percaya begitu saja. Yang sering ia lihat di tv selama ini, mereka yang sering merok*k malah jago beladiri, berwibawa, kaya raya dengan potongan jas ala petugas MLM, mereka pun selalu terlihat menawan dikelilingi para wanita-wanita cantik. Mungkin dokter ini iri dengan wajahnya yang semakin hari semakin menawan disebabkan karena kebiasaannya merok*k sehingga ia memberikan diagnosa palsu kepadanya, pikir Pak Dulkamid.
Beberapa warga yang sempat menjenguk Pak Somo pun mendengar pernyataan yang sama dari dokter di rumah sakit. Ada yang menolak mentah-mentah diagnosa itu, ada pula yang hanya diam dan mulai ragu dengan kebijakan yang diterapkan Pak Dulkamid. Melihat ada sesuatu yang mengancam kelangsungan programnya, Pak Dulkamid berfikir keras memutar otak untuk memberikan penjelasan kepada warganya yang mulai ragu dengan kredibilitasnya sebagai pimpinan kampung.
Seminggu berjalan tanpa ada pencerahan dari Pak Dulkamid, beberapa warga satu persatu mulai sering keluar masuk rumah sakit, keluhan mereka hampir semuanya sama, paru-paru rusak dan menghitam. Para pelajar yang ketahuan sering membawa rok*k ke sekolahan dipanggil orangtuanya untuk diberikan surat peringatan. Para warga mulai bertanya-tanya, sudah benarkah aktivitas merok*k mereka selama ini?. Pak Dulkamid yang kata-katanya terkenal mujarab mengobati kecemasan warga lebih sering keluar, dinas di kantor kelurahan katanya. Ada pun beberapa warga yang sudah menemui ajal dengan penyakit yang sama diderita oleh Pak Somo. Dari Mbah Kusmin, Pak Sarno, Mas Penget dan yang paling terbaru Robertus anak juragan bathok kelapa yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
Pak Dulkamid mulai dicari-cari warga, terkadang mereka datang langsung ke rumah untuk minta penjelasan dan pencerahan. Tetapi Pak Dul sering pergi sampai petang hari. Pernah beberapa warga berhasil menemuinya di malam hari. Ketika ditanya jawabnya singkat dan penuh dengan renungan yang mendalam, “semua itu sudah takdir Tuhan, kita semua tidak tahu nafas ini akan diijinkan Tuhan berfungsi sampai kapan, yang terpenting banyak-banyaklah beribadah, membantu sesama dan menuntut ilmu” katanya. Kata-kata Pak Dulkamid menggetar di dalam dada para warga yang berada di situ, mereka pulang dengan tenang tetapi tidak menemukan solusi untuk malapetaka yang sedang menimpa kampung mereka.
Tiba-tiba Pak Dulkamid mendapatkan pencerahan, ia teringat dengan pohon keramat di ujung kampung yang sudah lama tak diberi sesaji oleh warga yang sudah sibuk dengan kegemaran merok*k mereka. Hari itu juga Pak Dulkamid mengumpulkan warga untuk mengadakan rapat di balai pertemuan, dengan peci hitam dan kemeja merah polos kedodoran, Pak Dulkamid naik ke atas mimbar dan menyampaikan beberapa pernyataan yang telah ia tulis rapi di kertas folio. Pidato ia awali dengan ucapan bela sungkawa kepada para keluarga yang masih dirundung duka. Lalu pada inti pidatonya ia memberikan himbauan yang dirasa akan menjadi racun penawar keraguan warga terhadapnya. Dengan suara lantang dan mimik muka yang dibuat serius, “kepada para warga, bahwa musibah yang sedang kita alami sekarang bukanlah karena kebiasaan kita merok*k, melainkan karena kita sudah lama tidak memberikan sesaji untuk penghuni pohon keramat di ujung kampung, sehingga sing mbaurekso marah kepada kita, sehingga ia menjadikan warga kampung sebagai tumbal dengan memakan paru-paru mereka satu persatu, mulai saat ini kita harus lebih rajin memberikan sesaji kepada penghuni pohon keramat tersebut, agar kampung kita terlepas dari musibah ini, sekian”, tutup Pak Dulkamid yang mengucap salam disertai batuk yang terpingkal-pingkal, sedetik kemudian ia terhuyung tak sadarkan diri, warga panik mencari pertolongan, “Pak Dul dimakan penghuni pohon!!” teriak salah satu warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar