Sumber gambar : http://www.pesantrenkaligrafipskq.com/2016/04/lukisan-abstrak-karya-jean-jackues.html
Musim paceklik, warga kampung Kusen berusaha mencari cara agar keluar dari
musibah berat yang melanda mereka, karena hampir seluruh warga kampung adalah
pekerja sawah alias petani. Mereka harap-harap cemas jika kemarau panjang masih
menaungi kampung, musim ini mereka akan gagal panen. Akan banyak orang-orang
kampung yang bingung bagaimana untuk balik modal mengingat pertanian menjadi
satu-satunya penghasilan yang mereka punya untuk menopang perekonomian rumah
tangga.
Banyak yang mengeluhkan panjangnya kemarau tahun ini tak terkecuali Sukamdi
yang memang sudah lama menjadi seorang penggarap sawah bahkan bisa dibilang
turun-temurun mengingat keterampilan bercocok tanam yang ia miliki saat ini
merupakan buah warisan dari Bapaknya. Bahkan kalau mau ditelusuri sekalipun,
kakek buyut Sukamdi dulunya juga seorang petani yang tersohor pada masanya.
Hampir setiap tahun ia selalu menjadi petani yang mendapatkan untung paling
banyak jika dibandingkan dengan warga kampung yang lain. Tak jarang untung yang
ia dapatkan bisa dua kali lipat dibandingkan dengan warga kampung Kusen yang
lain.
“Bagaimana kakek dulu pak ?” Tanya
Sukamdi kepada Bapaknya.
“Apanya ?”
“Bagaimana kakek dulu bisa terus untung besar dengan musim kemarau seperti
ini ?”
Pertanyaan anaknya tersebut
membuatnya mengupas kembali satu-per satu ingatan masa kecil dari Bapak Sukamdi.
Bagaimana cara kakeknya bercocok tanam. Bagaimana ia mengatasi kemarau ganas
yang jelas pasti mematikan modal para petani jika tidak segera ditemukan
solusinya. Ia mencoba mengingat kembali masa-masa dimana waktu senggang
sepulang dari sekolah ia gunakan untuk membantu sang kakek di antara genangan
lumpur di tengah-tengah area garapan kakek Sukamdi. Jarang sekali pemuda
seusianya saat itu yang mau dan mampu bekerja dengan diselimuti terik matahari
dan pekatnya timbunan lumpur yang kadangkala ditambah dengan pacet yang
menghisap darah para penggarap sawah sebagai pelengkap kerasnya perjuangan
mereka saat itu.
Perbedaan cara pandang adalah salah satu alasan mengapa mereka berdua tetap
bertahan dengan kondisi pekerjaan yang demikian. Ladang lumpur yang mereka ubah
bak ladang emas dan rupiah dengan untung besar jika keteguhan tetap menancap
sempurna di dada mereka. Salah satu sebab ia saat itu masih bisa melanjutkan
pendidikan dengan biaya yang membuat orang-orang seprofesi mereka acapkali
harus sering-sering mengencangkan ikat pinggang.
“Kakekmu adalah orang yang
bijak, ia tetap tampil sederhana
meskipun hasil panen yang ia peroleh melimpah.”
Jika membicarakan tentang pribadi kakek Sukamdi, maka tak akan jauh-jauh
dari yang namanya sederhana dan sabar. Dua buah kata yang para ustadz dan ulama
pun sering menyebutkannya ketika khotbah Jum’at di masjid kampung Kusen yang
letaknya tepat di tepi sungai yang saban hari menjadi sumber irigasi warga bagi
bibit-bibit modal yang mereka tandur di
antara masing-masing petakan sawah. Namun khotbah tak ubahnya hanya sekedar
memenuhi syarat sah sholat Jum’at di kampung Kusen. Hanya sekedar pembeda
antara waktu sholat dengan hari-hari yang lain. Kata-kata dakwah gagal menancap
dan tumbuh di petakan-petakan hati warga kampung. Mereka lebih memilih memenuhi
panggilan dapur daripada lima panggilan adzan yang seolah terbatuk-batuk karena
kondisi speaker yang sudah selayaknya
digantikan dengan yang baru.
Beda dulu beda sekarang. Pada
masanya kakek Sukamdi, masjid menjadi titik sebab kemakmuran warga kampung
Kusen. Masjid menjadi pusat aktivitas warga, baik itu aktivitas warga kampung
yang mayoritas muslim seperti sholat berjama’ah maupun aktivitas umum seperti
rapat rutin bulanan. Masjid menjadi tempat berkumpulnya warga dari segala usia.
Adzan serta sholawat senantiasa menghiasi bangunan sederhana itu. Dari masjid
tersebut tak sedikit remaja yang setiap harinya menghiasi waktu malam hari dan
akhir pekan mereka dengan mengkaji Al Qur’an. Rutinitas pengajian pun tidak
membuat para warga yang siangnya lelah bekerja melupakan kewajiban mereka untuk
menimba ilmu agama.
Kakek Sukamdi menjadi salah satu
tokoh utama dibalik kemakmuran masjid kala itu. Bagaimana ia meyakinkan para
orang tua untuk tetap menimba ilmu meski kemampuan berfikir mereka melemah
disapu usia. Diadakanlah kajian-kajian rutin dengan narasumber dan materi yang
sesuai untuk usia mereka. Waktu kajiannya pun diatur supaya tidak memberatkan
langkah tua mereka untuk datang ke masjid setelah lelah menggarap ladang-ladang
mereka di siang harinya. Sadar dengan kondisi masjid yang sebagian besar hanya
diramaikan oleh nafas-nafas senja penduduk kampung, kakek Sukamdi pun
memberikan penyegaran dengan mengajak para pemuda-pemudi kampung untuk berperan
aktif dalam menjaga geliat dakwah di masjid tersebut tetap berjalan.
“Tirulah kakekmu, berkat jasanya
kampung ini dulu pernah makmur meskipun kemarau panjang macam sekarang”
“Solusi paceklik ini bukan
dengan ngrumat masjid macam kakek
dulu pak, apa coba hubungannya masjid sama sawah ? Paceklik ? Toh tiap maghrib dan
isya masih ada orang adzan di masjid, tandanya masih ada orang sholat di sana”.
“Menurutmu siapa yang ngurus
sawah kita, kamu kira tanduran yang
kamu tanam itu tidak ada yang nggarap ?
Tanganmu cuma bisa ngasih pupuk sama nyiram air tok, selebihnya Allah le yang ngrumat”.
“Allah maha tahu pak, apa masih
kurang usaha saya siang malam jaga sawah kita ? Apa yang saya kerjakan selama
ini apa tidak dihitung ibadah?”
Bagaimanapun juga otak bebal
Sukamdi seolah telah menolak peran Tuhan dalam setiap keringat yang ia teteskan
untuk lahan sawah keluarganya itu. Dia tak mau disalahkan atas perbuatannya
sendiri yang dengan sengaja dan jelas-jelas sadar mengacuhkan rasa syukur yang
harusnya Sukamdi panjatkan untuk sang pemberi kesuburan dan pertumbuhan pada
tiap-tiap bibit yang ia tanam selama ini. Entah setan jenis apa yang sudah
menyebabkan imannya terperosok ketitik ini, dimana ia sudah seperti orang yang
tak mau tahu dengan kebutuhan jiwanya sendiri, yang ia kini pikirkan hanyalah
sawah, sawah dan sawah. Tak ada hal lain yang dapat melegakan pikirannya
kecuali bagaimana caranya supaya sawahnya bisa subur kembali dengan hasil panen
melimpah. Sehingga dengan itu ia berharap dapat meneruskan nama baik kakeknya
yang tersohor sebagai petani sukses di masanya.
Pada akhirnya musim sulit pun
berangsur pergi meninggalkan kampung Kusen. Wajah-wajah murung para penggarap
sawah seolah lenyap bersamaan dengan musim buruk yang selama ini menyelimuti
kampung. Paceklik yang sudah menjadi kawan akhir-akhir ini menyisakan hikmah
dan pelajaran berharga bagi para petani bahwa mereka telah banyak meninggalkan
kewajiban mereka terhadap diri sendiri terutama urusan mereka dengan Tuhan lewat
masjid kampung yang sejak lama mereka biarkan runtuh. Bukan hanya konstruksi
bangunannya saja, semangat jama’ah di dalamnya pun entah dari sejak kapan
terkubur mati menyisakan onggokan cerita lama yang hambar jika diceritakan
tanpa adanya bukti yang menguatkan. Kampung Kusen yang memang sejak lama
dilanda paceklik. Ya, paceklik yang melanda ladang-ladang dan sawah mereka,
juga paceklik yang jauh lebih lama melanda iman-iman mereka. Dan kita tahu cucu
dari tokoh yang dulunya memakmurkan masjid kini ikut menjadi korban bersama
para penduduk kampung.