Minggu, 08 Juli 2018

Sukamdi Paceklik



Sumber gambar : http://www.pesantrenkaligrafipskq.com/2016/04/lukisan-abstrak-karya-jean-jackues.html


Musim paceklik, warga kampung Kusen berusaha mencari cara agar keluar dari musibah berat yang melanda mereka, karena hampir seluruh warga kampung adalah pekerja sawah alias petani. Mereka harap-harap cemas jika kemarau panjang masih menaungi kampung, musim ini mereka akan gagal panen. Akan banyak orang-orang kampung yang bingung bagaimana untuk balik modal mengingat pertanian menjadi satu-satunya penghasilan yang mereka punya untuk menopang perekonomian rumah tangga.
Banyak yang mengeluhkan panjangnya kemarau tahun ini tak terkecuali Sukamdi yang memang sudah lama menjadi seorang penggarap sawah bahkan bisa dibilang turun-temurun mengingat keterampilan bercocok tanam yang ia miliki saat ini merupakan buah warisan dari Bapaknya. Bahkan kalau mau ditelusuri sekalipun, kakek buyut Sukamdi dulunya juga seorang petani yang tersohor pada masanya. Hampir setiap tahun ia selalu menjadi petani yang mendapatkan untung paling banyak jika dibandingkan dengan warga kampung yang lain. Tak jarang untung yang ia dapatkan bisa dua kali lipat dibandingkan dengan warga kampung Kusen yang lain.
 “Bagaimana kakek dulu pak ?” Tanya Sukamdi kepada Bapaknya.
“Apanya ?”
“Bagaimana kakek dulu bisa terus untung besar dengan musim kemarau seperti ini ?”
                Pertanyaan anaknya tersebut membuatnya mengupas kembali satu-per satu ingatan masa kecil dari Bapak Sukamdi. Bagaimana cara kakeknya bercocok tanam. Bagaimana ia mengatasi kemarau ganas yang jelas pasti mematikan modal para petani jika tidak segera ditemukan solusinya. Ia mencoba mengingat kembali masa-masa dimana waktu senggang sepulang dari sekolah ia gunakan untuk membantu sang kakek di antara genangan lumpur di tengah-tengah area garapan kakek Sukamdi. Jarang sekali pemuda seusianya saat itu yang mau dan mampu bekerja dengan diselimuti terik matahari dan pekatnya timbunan lumpur yang kadangkala ditambah dengan pacet yang menghisap darah para penggarap sawah sebagai pelengkap kerasnya perjuangan mereka saat itu.
Perbedaan cara pandang adalah salah satu alasan mengapa mereka berdua tetap bertahan dengan kondisi pekerjaan yang demikian. Ladang lumpur yang mereka ubah bak ladang emas dan rupiah dengan untung besar jika keteguhan tetap menancap sempurna di dada mereka. Salah satu sebab ia saat itu masih bisa melanjutkan pendidikan dengan biaya yang membuat orang-orang seprofesi mereka acapkali harus sering-sering mengencangkan ikat pinggang.
                “Kakekmu adalah orang yang bijak, ia tetap tampil sederhana  meskipun hasil panen yang ia peroleh melimpah.”
Jika membicarakan tentang pribadi kakek Sukamdi, maka tak akan jauh-jauh dari yang namanya sederhana dan sabar. Dua buah kata yang para ustadz dan ulama pun sering menyebutkannya ketika khotbah Jum’at di masjid kampung Kusen yang letaknya tepat di tepi sungai yang saban hari menjadi sumber irigasi warga bagi bibit-bibit modal yang mereka tandur di antara masing-masing petakan sawah. Namun khotbah tak ubahnya hanya sekedar memenuhi syarat sah sholat Jum’at di kampung Kusen. Hanya sekedar pembeda antara waktu sholat dengan hari-hari yang lain. Kata-kata dakwah gagal menancap dan tumbuh di petakan-petakan hati warga kampung. Mereka lebih memilih memenuhi panggilan dapur daripada lima panggilan adzan yang seolah terbatuk-batuk karena kondisi speaker yang sudah selayaknya digantikan dengan yang baru.
                Beda dulu beda sekarang. Pada masanya kakek Sukamdi, masjid menjadi titik sebab kemakmuran warga kampung Kusen. Masjid menjadi pusat aktivitas warga, baik itu aktivitas warga kampung yang mayoritas muslim seperti sholat berjama’ah maupun aktivitas umum seperti rapat rutin bulanan. Masjid menjadi tempat berkumpulnya warga dari segala usia. Adzan serta sholawat senantiasa menghiasi bangunan sederhana itu. Dari masjid tersebut tak sedikit remaja yang setiap harinya menghiasi waktu malam hari dan akhir pekan mereka dengan mengkaji Al Qur’an. Rutinitas pengajian pun tidak membuat para warga yang siangnya lelah bekerja melupakan kewajiban mereka untuk menimba ilmu agama.
                Kakek Sukamdi menjadi salah satu tokoh utama dibalik kemakmuran masjid kala itu. Bagaimana ia meyakinkan para orang tua untuk tetap menimba ilmu meski kemampuan berfikir mereka melemah disapu usia. Diadakanlah kajian-kajian rutin dengan narasumber dan materi yang sesuai untuk usia mereka. Waktu kajiannya pun diatur supaya tidak memberatkan langkah tua mereka untuk datang ke masjid setelah lelah menggarap ladang-ladang mereka di siang harinya. Sadar dengan kondisi masjid yang sebagian besar hanya diramaikan oleh nafas-nafas senja penduduk kampung, kakek Sukamdi pun memberikan penyegaran dengan mengajak para pemuda-pemudi kampung untuk berperan aktif dalam menjaga geliat dakwah di masjid tersebut tetap berjalan.
                “Tirulah kakekmu, berkat jasanya kampung ini dulu pernah makmur meskipun kemarau panjang macam sekarang”
                “Solusi paceklik ini bukan dengan ngrumat masjid macam kakek dulu pak, apa coba hubungannya masjid sama sawah ? Paceklik ? Toh tiap maghrib dan isya masih ada orang adzan di masjid, tandanya masih ada orang sholat di sana”.
                “Menurutmu siapa yang ngurus sawah kita, kamu kira tanduran yang kamu tanam itu tidak ada yang nggarap ? Tanganmu cuma bisa ngasih pupuk sama nyiram air tok, selebihnya Allah le yang ngrumat”.
                “Allah maha tahu pak, apa masih kurang usaha saya siang malam jaga sawah kita ? Apa yang saya kerjakan selama ini apa tidak dihitung ibadah?”
                Bagaimanapun juga otak bebal Sukamdi seolah telah menolak peran Tuhan dalam setiap keringat yang ia teteskan untuk lahan sawah keluarganya itu. Dia tak mau disalahkan atas perbuatannya sendiri yang dengan sengaja dan jelas-jelas sadar mengacuhkan rasa syukur yang harusnya Sukamdi panjatkan untuk sang pemberi kesuburan dan pertumbuhan pada tiap-tiap bibit yang ia tanam selama ini. Entah setan jenis apa yang sudah menyebabkan imannya terperosok ketitik ini, dimana ia sudah seperti orang yang tak mau tahu dengan kebutuhan jiwanya sendiri, yang ia kini pikirkan hanyalah sawah, sawah dan sawah. Tak ada hal lain yang dapat melegakan pikirannya kecuali bagaimana caranya supaya sawahnya bisa subur kembali dengan hasil panen melimpah. Sehingga dengan itu ia berharap dapat meneruskan nama baik kakeknya yang tersohor sebagai petani sukses di masanya.
                Pada akhirnya musim sulit pun berangsur pergi meninggalkan kampung Kusen. Wajah-wajah murung para penggarap sawah seolah lenyap bersamaan dengan musim buruk yang selama ini menyelimuti kampung. Paceklik yang sudah menjadi kawan akhir-akhir ini menyisakan hikmah dan pelajaran berharga bagi para petani bahwa mereka telah banyak meninggalkan kewajiban mereka terhadap diri sendiri terutama urusan mereka dengan Tuhan lewat masjid kampung yang sejak lama mereka biarkan runtuh. Bukan hanya konstruksi bangunannya saja, semangat jama’ah di dalamnya pun entah dari sejak kapan terkubur mati menyisakan onggokan cerita lama yang hambar jika diceritakan tanpa adanya bukti yang menguatkan. Kampung Kusen yang memang sejak lama dilanda paceklik. Ya, paceklik yang melanda ladang-ladang dan sawah mereka, juga paceklik yang jauh lebih lama melanda iman-iman mereka. Dan kita tahu cucu dari tokoh yang dulunya memakmurkan masjid kini ikut menjadi korban bersama para penduduk kampung.
                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar