Rabu, 27 Maret 2019

Surat Untuk Kairo


Hasil gambar untuk lukisan kairo

Sudah lama sekali ya Rin semenjak terakhir kali kita meninggalkan tawa-tawa lepas kita sewaktu masih duduk di bangku SMA. Sejak saat itu aku jarang sekali mendengar kabarmu. Bahkan beberapa teman dekat pun seolah kehilangan kontakmu saat itu. Terakhir aku mendengar kabar kau tengah bekerja di Jakarta sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar di sana. Aku tak terkejut kau bisa terjun ke dunia pendidikan, bukankah itu memang cita-citamu dari dulu untuk mengajar di sekolah kan ?, setidaknya cita-citamu sudah keturutan, yah meskipun aku tahu itu bukan sepenuhnya cita-cita yang kau inginkan. Ceritamu waktu itu, ketika kita masih jadi sahabat karib di bangku sekolah. Keinginanmu untuk melanjutkan pendidikan di Kairo bukan main-main. Paling tidak dugaanku benar adanya jika dilihat dari perjuanganmu mencari beasiswa kesana kemari hanya untuk menjadikan cita-citamu bukan hanya sekedar pemanis bibir.
            Sudah dua pekan semenjak aku datang ke rumahmu, cuma tinggal Bapak, Ibu dan adik laki-lakimu yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Aku mendapatkan banyak cerita tentangmu dari mereka. Bapakmu bilang kau hampir pingsan karena impianmu sendiri, mengurung diri di kamar,

hmmm.. belajar sampai lupa makan katanya. Haha.. ada-ada saja pikirku.

Ibumu juga sempat cerita bagaimana kondisimu yang sempat beberapa kali demam karena kurang istirahat dan puncaknya kau dilarang pergi ke Kairo. Aku jadi penasaran bagaimana perasaanmu waktu itu. Ku pikir kau tak mungkin pasrah begitu saja dengan larangan orang tuamu. Tak mungkin Rin yang ku kenal selama ini dengan mudah menanggalkan cita-cita yang sudah dibangun waktu kita masih sekelas.
Lima tahun ya Rin kalau ku ingat-ingat kau mulai kepikiran sama Kairo, belajar di sana, mengenal sejarah Islam sekaligus menikmati semua yang disajikan kota itu bagi para pendatang. Rasanya aku sendiri tak akan memungkiri kesungguhanmu untuk pergi ke sana memang punya banyak alasan yang sangat masuk logika. 

Impianmu untuk berdakwah menjadi alasan utama, bukan begitu Rin ? 

Pantas saja jika pada akhirnya orang tuamu menyerah untuk tetap memberikan ijin meski dengan resiko belum tentu ada yang bisa merawatmu lebih baik dari mereka. Bagaimana nanti kalau kau sampai jatuh sakit lagi lantaran kelelahan belajar, atau jika tubuhmu tak kuat dengan perbedaan cuaca di sana. Meskipun penjelasan yang kau sampaikan kepada mereka dapat memberikan sedikit perasaan tenang. Namun tak dapat dipungkiri jika rasa khawatir itu tetap ada dan tak bakal menguap dengan penjelasan segamblang apapun. Seberapa pun banyaknya kau terlihat kuat di hadapan keluargamu, benih-benih kekhawatiran tetap bisa tumbuh sewaktu-waktu jika dihadapkan dengan kabar-kabar yang tak mengenakkan tentangmu.
Wajar saja Rin, toh mereka keluargamu, siapa lagi manusia yang lebih tahu tentangmu selain mereka. Manusia yang paling lama mengenal kekuatan dan kelemahan tubuhmu bahkan sampai urusan hati. Mereka pun juga tahu resikonya ketika merawat anak yang tumbuh dewasa dengan tekad sebulat bulan lima belas. Bahkan semenjak usiamu masih dalam hitungan minggu bibit keras kepalamu sudah mulai terlihat. Mereka tahu resiko itu karena Bapakmu pun orang yang demikian sifatnya.

Sifat keras kepalamu bawaan lahir ya Rin ? hahaha..

Jadi Jakarta hanya jadi tempat singgah sementara saja ya buatmu Rin ?. Keluargamu bilang kalau kau sudah hampir setengah tahun tinggal di Kairo, kota yang sudah kau tunggu untuk dijamahi kebesarannya, ilmu-ilmu yang bisa rakus kau lahap, begitu kalau tak salah kau dulu cerita padaku dengan mata menyalak-nyalak, seolah ingin keluar dari tempatnya singgah. Jujur saja rasanya iri sekali dengan caramu berjuang waktu itu, sampai saat ini akhirnya tujuan itu sudah mapan pada tempatnya. Aku turut bahagia mendengar kabar itu dari keluargamu di sisi lain ada sebersit perasaan sedih tak bisa menemuimu dalam waktu yang cukup lama. Kira-kira empat sampai lima tahun ya kita akan bakal menunda percakapan, itupun kalau kau tak lanjut pendidikan lagi di sana. Padahal aku mau mengajakmu mencoba kedai kopi baru di seberang sekolahan kita dulu. Sumpah di sana kopinya luar biasa Rin.
Membiarkan waktu mengambil ruang pada pertemuan kita adalah kondisi yang tak lantas bisa dipersilahkan begitu saja, tapi Allah maha tahu, bagian mana jatah nasib manusia yang harus didahulukan, manusia hanya pandai merengek-rengek menolak nasibnya sendiri yang tak enak dirasa, tapi seolah menjadi pura-pura lupa pada kondisi sebaliknya. Pada akhirnya kita tak bisa menolak, mengeluh terus-terusan pun bukan jalan keluar yang dianjurkan. Membiasakan diri dengan jatah nasib yang sudah pada waktunya harus dijalani dirasa jadi obat yang paling mujarab. Hanya saja aku sendiri sudah terlanjur kecanduan dengan keluhan-keluhan yang sengaja tak mau ku buang jauh-jauh. Salah satu watak manusia yang paling manusiawi katamu. Sudah tahu penyakitnya, pun dengan obatnya, akan tetapi tak lekas diobati. Lalu pada akhirnya mati menjadi peringatan yang siapapun tak bisa menolak. 

Dasar manusia, lantas aku apa ? haha.

Tidak ada harapan terbesar dari seorang sahabat selain melihat sahabatnya sendiri terus berjuang dengan cita-citanya, sampai dimanapun tahap yang sudah dilangkahi, separah apapun luka yang pernah menjadi bagian dari perjuangan, serusak apapun jalur yang sudah atau bakal dilewati untuk alasan yang bahkan sebagian orang bilang tak masuk di akal. Selama itu adalah cita-cita mulia untuk apa kita peduli. Soal ini barangkali menjadi tuli adalah jurus paling jitu.
Seperti itu saja terus ya Rin, satu-satunya bantuan yang bisa kami berikan padamu hanya do’a, yang tak mengenal jarak apalagi ongkos kirim. Khusus keluargamu yang tak usah ditanya berapa kali mereka mendo’akanmu dalam sehari atau se-jam. Bahkan jika itu membuat bibir mereka sampai berdarah-darah sekalipun. Kau tak perlu risau dengan hal itu, karena bagi mereka luka fisik akan sembuh dengan sendirinya. Innallaha ma’anna, sesungguhnya Allah bersama kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar