Minggu, 09 November 2014

Sajak pendek




HUJAN
“Engkau tak pernah bosan menegur hujan, ia betah bersamamu dan menggambar matamu yang begitu gerimis”



SENJA 
“Sebentar saja bersamaku di tengah senja, aku ingin tertawa sebentar bersamamu, lihat..!! senja diam saja tak lekas tenggelam di sudut matamu itu”


NASIB
“Pandai kita menerangkan nasib orang sedang nasib sendiri pun sukar ditulis”


UANG
“Ia selalu dipilih orang-orang lupa, sedikit menghibur sementara, perannya pun terserah kita(harta)”


TERAS
“Yang terbias di depan teras, kita tengah bersama mengetuk masing-masing, hey..!! bolehkah aku mengetuk hatimu sebentar”



KATA
Engkau tak pernah benar, dengannya engkau rajin sekali menukil kembali kata-katamu yang terpasung diantara sepasang hujan atau memang engkau sengaja menyamunkan puisi-puisimu yang rindu-rindu itu. Ia rajin menyetubuhiku ketika malam yang sengaja digelapkan dengan kata-katamu yang pura-pura sekarat supaya aku mau bangkit dan memapahmu kembali ke dalam cangkir-cangkir tanah yang berisi tentang pembicaraanmu dengan meja kayu yang di dalamnya penuh dengan guratan gelak tawa hujan yang pernah kita seduh seharian.



PADI
Kita hanya sebuah padi dengan petakan-petakan kecil yang sengaja dibangun untuk merapikan sebuah pertumbuhan, kita sengaja dibatasi karena dengannya kita mengenal tentang jarak dan beda dan yang mencipta. Kita diam saja jika disyairkan dalam hujan dan puisi-puisi kemarau panjang. Pada akhirnya kita diikat pada sebuah pelukan (tali pengikat) dan ada yang nantinya berakhir sepasang.



GELAS MAGHRIB
Yang pernah ku singgahkan dalam gelas kita berdua, percakapan yang tersamar bening kaca, gelisah yang betah menyimak sepasang pijar mata, kita pada akhirnya berpura-pura girang semisal anak-anak yang menghabiskan tawa mereka hingga maghrib menyuruh pulang, tanpa berpikir panjang harus kemana menghabiskan lagi sore lusa yang seperti itu-itu saja, pada akhirnya percakapan kita berebut dengan meja yang penuh dengan seserakan lamunan dan kata-kata yang masih kita simpan rapi dalam gelas masing-masing, sampai maghib menyuruh kita pulang.



IBU
Engkau tak pernah mengajari caranya merindukan, hanya saja kita dulu sering menghabiskan tawa yang tak pernah sepotong-sepotong seperti kue talam yang sering kau bawa pulang dari pasar depan perempatan kota, entah kau hanya berpura-pura menampilkan lembaran tawa yang semakin terserut keriput, atau memang kau sengaja merautnya kembali untuk menyimpan tertawaaan kita saat lusa ketika mata kita sudah tak saling termaktup bersama lagi, apa karnanya engkau tak pernah mengajari caranya merindukan (ibu).



KANCIL
Jangan berpikir cerdik, karena kita bukan si kancil pencuri ketimun, berpikirlah bijak seperti manusia yang diajari agama.



GERIMIS SEDIH
Jangan kau ganggu dulu, aku sedang sibuk mencari tawamu diantara seserakan gerimis yang sedih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar