HUJAN
“Engkau
tak pernah bosan menegur hujan, ia betah bersamamu dan menggambar matamu yang
begitu gerimis”
SENJA
“Sebentar
saja bersamaku di tengah senja, aku ingin tertawa sebentar bersamamu, lihat..!!
senja diam saja tak lekas tenggelam di sudut matamu itu”
NASIB
“Pandai
kita menerangkan nasib orang sedang nasib sendiri pun sukar ditulis”
UANG
“Ia
selalu dipilih orang-orang lupa, sedikit menghibur sementara, perannya pun
terserah kita(harta)”
TERAS
“Yang
terbias di depan teras, kita tengah bersama mengetuk masing-masing, hey..!!
bolehkah aku mengetuk hatimu sebentar”
KATA
Engkau
tak pernah benar, dengannya engkau rajin sekali menukil kembali kata-katamu
yang terpasung diantara sepasang hujan atau memang engkau sengaja menyamunkan
puisi-puisimu yang rindu-rindu itu. Ia rajin menyetubuhiku ketika malam yang
sengaja digelapkan dengan kata-katamu yang pura-pura sekarat supaya aku mau
bangkit dan memapahmu kembali ke dalam cangkir-cangkir tanah yang berisi
tentang pembicaraanmu dengan meja kayu yang di dalamnya penuh dengan guratan
gelak tawa hujan yang pernah kita seduh seharian.
PADI
Kita
hanya sebuah padi dengan petakan-petakan kecil yang sengaja dibangun untuk
merapikan sebuah pertumbuhan, kita sengaja dibatasi karena dengannya kita
mengenal tentang jarak dan beda dan yang mencipta. Kita diam saja jika
disyairkan dalam hujan dan puisi-puisi kemarau panjang. Pada akhirnya kita
diikat pada sebuah pelukan (tali pengikat) dan ada yang nantinya berakhir
sepasang.
GELAS MAGHRIB
Yang
pernah ku singgahkan dalam gelas kita berdua, percakapan yang tersamar bening
kaca, gelisah yang betah menyimak sepasang pijar mata, kita pada akhirnya
berpura-pura girang semisal anak-anak yang menghabiskan tawa mereka hingga
maghrib menyuruh pulang, tanpa berpikir panjang harus kemana menghabiskan lagi
sore lusa yang seperti itu-itu saja, pada akhirnya percakapan kita berebut
dengan meja yang penuh dengan seserakan lamunan dan kata-kata yang masih kita
simpan rapi dalam gelas masing-masing, sampai maghib menyuruh kita pulang.
IBU
Engkau
tak pernah mengajari caranya merindukan, hanya saja kita dulu sering
menghabiskan tawa yang tak pernah sepotong-sepotong seperti kue talam yang
sering kau bawa pulang dari pasar depan perempatan kota, entah kau hanya
berpura-pura menampilkan lembaran tawa yang semakin terserut keriput, atau
memang kau sengaja merautnya kembali untuk menyimpan tertawaaan kita saat lusa
ketika mata kita sudah tak saling termaktup bersama lagi, apa karnanya engkau
tak pernah mengajari caranya merindukan (ibu).
KANCIL
Jangan
berpikir cerdik, karena kita bukan si kancil pencuri ketimun, berpikirlah bijak
seperti manusia yang diajari agama.
GERIMIS SEDIH
Jangan
kau ganggu dulu, aku sedang sibuk mencari tawamu diantara seserakan gerimis yang
sedih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar